Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..
Showing posts with label my story. Show all posts
Showing posts with label my story. Show all posts

Saturday, 14 June 2014

Sugar Afternoon - Chapter 3





“Hei, Naia, kau kerja sore ini?” Yoga menyapa saat aku memasuki area Rendez-Vous. “Iya, aku tukeran shift sama Carissa,” kataku. “Rendez-Vous rame nggak sih kalau Sabtu malam?”
“Sabtu malam atau malam Minggu?” goda Yoga.
“Lho, emang beda? Bukannya sama aja ya?”
“Beda dong. Sabtu malam itu istilah yang biasanya dipakai kaum jomblo, mungkin sebagai salah satu upaya penyangkalan. Soalnya kalau pake istilah malam minggu, kerasa banget mirisnya jadi jomblo,” penjelasan Yoga berhasil membuahkan cubitan-cubitan kecilku di lengannya. “Idih, kalau protes berarti ngerasa,” sambung Yoga. ”Enak aja. Aku bukan jomblo miris tau. Aku single bahagia,” aku mencibir.
“Mana ada single bahagia tapi tiap kerja sore sibuk ngeliat ke luar jendela sambil manyun.” Ucapan Yoga langsung membuatku terdiam. Kualihkan perhatianku pada setumpuk gummy candies berbentuk beruang di dekat meja kasir. “Eh, Naia, sorry. Aku nggak maksud,” Yoga terlihat salah tingkah.
“Nggak. Nggak apa-apa kok,” aku menggeleng pelan. “Emang segitu kelihatannya ya?”
“Soalnya jarang-jarang wajah kamu gloomy. Biasanya kan haha-hehe gangguin orang sampai bikin sebel,” Yoga menepuk pelan bahuku. “If you have any problem, just tell us. Bukan aku juga nggak apa-apa. They all are so worry about you.”
“Ahaha, bukan masalah besar kok, Ga. Hanya cinta sepihak. Dia datang tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Dan aku ternyata kehilangan.”
“Siapa sih?” Yoga duduk di sebelahku dengan wajah rumpinya. “Yoga rumpi ih!” aku melempar segenggam gummy candies ke arah Yoga sambil tertawa. “Argh! Naia! Ini permen mahal tau!” protes Yoga.
“Bodo!” aku berlari menjauhi Yoga ketika terdengar denting lonceng pintu, menandakan tamu datang. Kuambil setumpuk menu dan bergegas menyambut.
“Selamat sore. Selamat datang di Rendez-Vous,” sapaku pada sekumpulan pemuda. “Untuk berapa orang ya, mas?”
“Eh, kita berapa orang sih?” pemuda paling depan bertanya ke belakangnya.
“Sepuluh orang,” salah satu temannya yang tengah sibuk dengan hp menjawab, lalu mengangkat kepalanya. “Eh? Kok?” wajahnya terlihat terkejut saat melihatku. Ada apa sih? Aku nggak kenal mereka kok, meskipun selintas mereka terasa familiar.
“Ares!” pemuda itu berteriak ke arah luar setelah mampu menangani rasa terkejutnya. Tak lama kemudian seseorang melangkah masuk. Seseorang yang sama sekali tak kuduga.
Sang malaikat senja.
Ia berdiri di hadapanku, dengan ekspresi terkejutnya, dengan wajah kemerahannya, dan dengan keributan teman-temannya. “Hush! Dewasa dong!” dia menegur pelan teman-temannya.
“Ciee, muka lo merah banget, Res!” goda salah satu temannya. “Mbak, tau nggak? Ares ini suka merhatiin kalau mbak lagi duduk di kursi luar Rendez-Vous, tiap kita main sepakbola,” sambungnya padaku, membuahkan pelototan dari Ares.
“Kenalan gih, kesempatan nggak selalu datang dua kali lho!” komentar temannya yang lain, sebelum mereka ‘berinisiatif’ memilih sendiri tempat duduk, dan meninggalkan kami hanya berdua.
“Sorry ya, teman-teman aku. Dih, bocah banget sih!” kata Ares pelan padaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan anggukan, masih mencerna semua informasi yang secara mendadak masuk ke otakku. Setelah beberapa detik hening, kuputuskan untuk menyerahkan buku menu pada teman-temannya ketika tiba-tiba dia bersuara. “Tapi, boleh kenalan? Aku Ares, semester 5 desain produk.”
“Ah, Naia. Sastra Jepang. Semester 5 juga.”

* * * * *

Tuhan, malaikat senja itu ternyata berkenan untuk singgah dalam hati. Ia tak lagi tak bernama. Dan ia kini berada dalam gapaian.







Sugar Afternoon - Chapter 2




Jumat, 11 Mei
Hari ini dia tidak ada di lapangan, padahal sang Pencipta telah berbaik hati tak menurunkan lagi hujan. Permainan sepakbola itu tetap ada, hanya saja bukan dia yang berdiri menghalang gawang. 30 menit aku menanti, dan harapan itu musnah. Yang tersisa hanya seribu tanya, ke mana dia ? ada apa dengannya? Mengapa menghilang? Dan saat seperti inilah aku menyesali diamku, karena pertanyaan itu takkan menemukan jawabnya.

“Hey, Naia. Ada apa sih dari tadi lihat keluar jendela terus?” Angga, waiter yang juga bekerja part-time di rendez-Vous, menepuk bahuku. Aku segera mengalihkan perhatianku sambil tersenyum. Huff, tanpa sadar hati ini terus berharap ada keajaiban kecil, tiba-tiba menemukannya di tengah lapangan seperti biasa.
“Nggak apa-apa. Cuma khawatir hujan aja, soalnya aku lupa bawa payung,” elakku.
“Yaelah, khawatir hujan aja mukanya udah kayak lagi patah hati. Cuma air jatuh dari langit juga,” Angga berkomentar santai sambil membereskan meja di dekatku.
Kujatuhkan pandanganku sekali lagi ke arah lapangan, sebelum bergerak menjauh dari jendela dan membantu Angga. “Heh, emang muka orang lagi patah hati kayak gimana?”
“Ya kayak kamu sekarang. Manyun terus, kusut, kayak mau nangis.”
“Ngarang ah,” aku menyikut Angga. Iya, Angga pasti ngarang. Nggak mungkin lah aku patah hati, kenal dia aja nggak. Iya kan?

* * * * *

Rabu, 16 Mei
Where are you??
Lagi-lagi seseorang yang lain yang berdiri di gawangnya. Dan lagi-lagi akan kuhabiskan sisa hari dengan siksaan pertanyaan.
Tuhan, memang terlarangkah? Sehingga kau ambil dia dari tatapanku?

* * * * *

Hey, Naia, can I talk to you for a min?” Carissa menghampiri aku saat aku bersiap-siap untuk pulang. “Sure. What’s up?” tanyaku.
“Aku bisa tukeran shift kerja denganmu akhir minggu ini nggak? I have mid-test this Saturday,” kata Carissa.
No prob. So, kau akan kerja Jumat sore, dan aku Sabtu sore?”
Yup. Seriously you don’t mind with that?” Carissa memastikan. “Easy, Sa. Aku libur kok hari Sabtu. Dan mengingat setiap weekend jalanan di kota kita tercinta selalu macet mampus, aku tak pernah punya rencana apa-apa,” aku menepuk bahu Carissa.
Thank you, Naia,” Carissa memelukku.
Yup. No prob. Hanya satu kali lagi absen menatap malaikat senja itu. Toh dia juga mungkin tidak akan pernah lagi muncul di lapangan itu.





Sugar Afternoon - Chapter 1




Rabu, 2 Mei
Setengah jam sebelum shift kerjaku di Rendez-Vous dimulai, dan lagi-lagi aku terduduk di kursi terluarnya. Menatap lapangan sepakbola fakultas desain. Menatap satu sosok kiper yang entah sejak kapan pastinya mulai memenjarakan pandanganku. Ia selalu tampak berkilau, menantang teriknya sinar mentari sore. Matanya selalu fokus pada aliran gerak bola, tak memperdulikan kerumunan gadis yang berteriak dari dekat. Satu sisi hatiku bersyukur bahwa mereka tak berhasil menarik perhatiannya. Sisi lain berharap aku dapat berada di sana, sekedar untuk mengetahui siapa namanya. Duh, Tuhan, aku jatuh hati pada satu malaikat senja tak bernama, entah karena apa, dan entah sejak kapan cerita ini bermula.

Tulisanku terhenti ketika sebuah tendangan jarak jauh berhasil ditepisnya, dan dia langsung melompat kegirangan, menyambut tepukan selamat dari teman-teman satu timnya. Ha, orang gila mana yang nekat main sepakbola dengan mengenakan kemeja putih, batinku. Namun, lebih gila lagi satu jiwa yang bisa jatuh hati pada seseorang tanpa mengenalnya.
“Naia,” panggilan seseorang menghentikan lamunanku. Aku menoleh dan mendapati Anthony berdiri di pintu karyawan – yang letaknya dekat dengan tempatku duduk. “Sebentar lagi shift-mu dimulai. Sebaiknya kan segera masuk dan bersiap-siap,” Anthony mengetuk jam tangannya pelan, lalu menghilang kembali ke balik pintu.
Aku menghela nafas panjang dan menutup buku catatanku. Menatap ke arah lapangan sepakbola sebelum akhirnya berdiri dan menyusul Anthony.

* * * * *

Jumat, 4 Mei
Hari ini aku kembali datang lebih awal, menikmati setengah jam sendiriku di kursi terluar Rendez-Vous, menatap lapangan sepakbola. Mungkin sekitar 2 bulan yang lalu kali pertama aku melihatnya, saat aku memutuskan mengerjakan tugas presentasiku di Rendez-Vous, dan berharap suasana sore yang segar di antara rimbun pepohonan dapat mengalirkan banyak ide ke dalam otak. Ide yang langsung membeku ketika pandanganku jatuh pada sosoknya. Dan sejak itu, sejauh apapun dia berada, sebanyak apapun orang berkerumun di dekatnya, mata ini dapat menemukannya dalam sekejap. Dan sejak itu pula aku selalu menghitung hari, hari di mana aku bisa duduk di kursi ini, dan dia berada di lapangan itu.

Ah, tawa itu terlahir lagi ketika ia berhasil menahan laju bola. Kututup buku catatanku, untuk menghabiskan menit-menit terakhirku memperhatikan tingkah lakunya, sebelum Anthony memanggilku untuk bersiap-siap.

* * * * *

Rabu, 9 Mei
Hari ini mendung datang tiba-tiba, membawa serta kilatan petir yang membuat permainan sepakbola itu terhenti lebih cepat. Ia segera berlari kembali ke gedung kuliahnya dan menghilang. Duh, Tuhan, mengapa harus kau hadirkan hujan hari ini? Meniadakan kesempatanku yang hanya sedikit untuk mengagumi dia. Terlarangkah menyukai seorang malaikat? Meski aku tak bersuara? Meski hanya menatapnya dari jauh? Jika sedari awal memang aku tak berhak, mengapa kau lahirkan rasa ini dalam hati?


“Ah, hujan sialan,” aku menggerutu ketika tetes demi tetes air mulai jatuh dari langit. Kulirik jam tanganku, masih 20 menit lagi sampai shift kerjaku dimulai. Kukeluarkan novel dari dalam tas dan memutuskan untuk meneruskan bacaanku, meski sesekali kulirik lapangan sepakbola, berharap sedikit keajaiban memihak padaku. Namun ternyata tidak.





Sugar Afternoon - Prolog




Ada kalanya aku terdiam dalam dekapan rindangnya pohon tua tepi jalan, menatap satu titik yang tak pernah melelahkan mata. Kau berdiri di atas rumput hijau itu, menantang laju derasnya bola yang bersiap mengoyak pertahananmu. Dan senyum tipis itu pun terlahir, saat bola mendarat dalam pelukan. Ah, mata ini tak pernah bosan memandangmu. Hati ini tak pernah henti lantunkan pujian atasmu. Dan jiwa ini ingin sekali milikimu. Ah Tuhan, asa ini tak layak adanya. Bagai serpihan pasir menatap titik berkilau di kegelapan malam. Tersadar sejauh apapun tangan terulur, takkan sanggup meraihnya.






Saturday, 21 December 2013

Lemonade Song - Chapter 3






“Chi, ayo dong, temenin aku gladi bersih buat acara besok,” Cakra menghadang begitu aku keluar dari kelas British Literature.
“Aku kan udah bilang aku nggak bisa ke Rendez-Vous hari ini, masih ada paper yang harus aku selesaikan,” aku mengelak.
“Alasan yang sama yang kamu kasih sejak 3 hari lalu,” kata Cakra.
“Emang paper bisa kelar dalam waktu 1 hari?!”
“Chi, ada apa sih? Kalau ada masalah bilang dong sama aku. Kamu tiba-tiba nggak mau datang ke Rendez-Vous sama sekali. Anak-anak nanyain kamu, Rhea nanyain kamu, even Gema juga nyariin.”
Aku langsung terdiam mendengar ucapan Cakra, mendengar satu nama terucap dari bibirnya. Gema. Cowok dengan kata-kata manis yang entah mengapa malah menghantui malamku. Memenjarakan pikiranku dengan pertanyaan siapa gadis beruntung yang membuatnya mampu ciptakan kata-kata indah itu. Siapa kelak gadis beruntung yang akan mampu miliki hatinya.
Aku menghela nafas panjang dan menggeleng pelan. You’re falling too fast, Cianti!
“Oke deh kalau kamu hari ini nggak bisa datang ke Rendez-Vous. Tapi kamu besok harus datang ya? Aku perform mulai jam 2 siang. Please, please, spare your time for just tomorrow,” Cakra menepuk kepalaku pelan, kemudian berlalu.
Dan aku berdiri sendiri, hanya dengan dilemma-ku.

* * * * *

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore saat kulangkahkan kaki memasuki Rendez-Vous. Sesiangan tadi aku bergulat dengan akal sehatku, yang memilih untuk mundur dan berlalu. Namun selalu, pada akhirnya hati yang menguasai.
Kuarahkan pandanganku pada bagian depan coffee shop tempat live music baru saja selesai. “Cianti!” Cakra berlari dari arah dapur. “Akhirnya datang juga,” sambungnya sambil merangkul bahuku dan mengarahkanku ke satu meja.
Sorry aku nggak bisa nonton perform-nya kamu,” kataku.
No big deal. Aku minta kamu datang bukan untuk itu kok. Walaupun kecewa juga sih, soalnya aku jadi nggak punya kesempatan buat ngebuktiin betapa kerennya aku,” Cakra mengibaskan tangannya sok acuh.
“Jadi buat apa?”
Just someone desperately want to give you a surprise. Just sit and wait,” Cakra menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil tersenyum lebar, kemudian menghilang lagi ke arah dapur.
“Dih, surprise apaan sih? Ulang tahunku kan masih lama?” gumamku pelan.
Tak lama Ethan – barista Rendez-Vous – meletakkan segelas hot chocolate dengan foam berbentuk hati terukir di atasnya, dan bersamanya hadir kartu berwarna hijau. Sebuah tulisan tangan yang kukenal tergores pada kartu tersebut. Tulisan tangan yang sama yang tergores pada berlembar-lembar kertas di atas meja Rendez-Vous beberapa hari lalu. Tulisan tangan milik Gema.

Bila kau ada waktu... Tinjaulah batinku... Gelisah dan bermimpi untukmu... Kerap mengusik kalbu... Setiap senyummu... Melambungkan asa tuk merindu...

Aku menatap ke arah dapur, hanya untuk menemukan sosok Gema berdiri canggung di depan pintunya. Sena mendorong pelan bahu Gema, membuat pemuda itu akhirnya melangkah ke arahku.
“Umm.. itu Katon Bagaskara,” katanya pelan setelah berhenti tepat di samping mejaku.
I know. I told you before, didn’t I, that I’m a huge fans of him,” kataku. “Apa maksudnya ini?”
“Seperti apa yang tertulis di situ. If you don’t mind.”
“Seorang pujangga seperti Gema mengutip kata-kata Katon Bagaskara? What’s wrong with your own words?” tanyaku sambil tersenyum. Aku tidak berniat untuk mencela Gema, hanya penasaran dengan pilihannya. Dan jawabannya berhasil langsung membuatku terdiam.
“Karena kamu membuat otakku mati rasa.”





Lemonade Song - Chapter 2






Hari ini aku kembali duduk di Rendez-Vous bertemankan segelas dingin lemonade squash. Thanks to Cakra yang satu jam lalu dengan suksesnya menarikku dari gedung kuliah untuk membantunya mendokumentasikan latihan sore ini.
Aku tengah memainkan camcorder di tangan ketika Gema duduk di sampingku. “Hei, mana Cakra?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu, “Entah, tadi menghilang sama Sena.”
“Dianggurin dong?” dia nyengir kecil.
“Iya. Sialan. Udah narik-narik aku dari gedung kuliah, terus dianya malah menghilang.”
Gema hanya tertawa sambil mengeluarkan gitar dari dalam kantong, dan mulai menyetel senarnya. Tak lama samar-samar terdengar petikan lagu yang familiar di telinga.
“Eh, kayaknya pernah denger deh lagunya,” kuangkat wajahku dari display camcorder.
“Apa coba?” tanyanya sambil tersenyum.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu,” kuperhatikan alunan nada yang terus mengalir dari jemari Gema, hingga masuk pada bagian reffrain. “Ah! Pasangan Jiwa-nya Katon Bagaskara ya?” kataku akhirnya.
“Wah, tahu juga sama karyanya Katon?” Gema menatapku heran.
Fans berat, hehe. Aku suka cara dia merangkai kata-kata indah, yang terkesan puitis tapi tetap sederhana. Musisi jaman sekarang nggak ada yang bisa berkarya seperti itu. Kalaupun masih ada, pasti langka banget,” aku menerangkan panjang lebar.
“Karena pasar musik jaman sekarang sudah sulit menerima kata-kata puitis,” Gema menanggapi.
“Otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis ya?” kataku sambil nyengir.
“Ahaha. Kesimpulannya sadis amat,” Gema tertawa geli, membuahkan kerutan heran di dahiku. “Heh? Kamu bisa ketawa juga ya?” tanyaku refleks.
“Sialan lo!” pemuda itu langsung cemberut, yang justru malah menciptakan cengiran di wajahku.
Satu lagu baru terdengar dari permainan gitar Gema. Nada yang asing sama sekali di telinga. Halus, mengalir, tapi entah mengapa terasa sendu. Dan berhasil membuatku terdiam sepanjang permainannya.
“Lagu siapa?” tanyaku pelan saat petikannya berakhir.
“Lagu iseng-iseng aja,” katanya.
“Heh? Seriously? Lagu kayak gini dibilang iseng, gimana seriusnya?” aku menatap Gema tak percaya, sementara pemuda itu hanya tersenyum dan dengan tenangnya meletakkan gitar di samping meja. “Liriknya udah ada?” tanyaku lagi.
“Masih coret-coret aja,” dia menanggapi. “Masih mencari lirik dan mood yang cocok dengan musiknya.”
Aku menatap pemuda di hadapanku dengan takjub. Gema bukan hanya jago merangkai kata, namun ia juga jenius dalam mencipta nada.
“Gema!” suara seseorang dari belakangku mengalihkan perhatian kami berdua. Tampak Sena tengah berjalan menghampiri sambil tersenyum usil. “Ciee... PDKT sama saudaranya si Cakra nih?” goda Sena.
“Ngarang,” Gema menanggapi singkat, sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah, yang entah mengapa membuatku sedikit kecewa.
“Duh, Gema, dingin banget sih lo. Kapan punya pacar kalau begini terus. Itu cewek-cewek pada ngantri nggak ada satupun yang bikin lo tertarik ya?” Sena menarik satu kursi di dekatku. “Gue sampai curiga jangan-jangan dia ini gay,” Sena berbisik padaku, namun dengan volume suara yang masih dapat terdengar oleh Gema.
“Sialan otak lo!” Gema menyodok dahi Sena dengan batang pensil.
“Gema kan pujangga cinta, pastinya banyak banget cewek-cewek yang melting habis baca kata-kata cintanya dia,” aku menanggapi, lagi-lagi terkejut dengan sepercik rasa kecewa yang terlahir di hati.
“Ahaha. Dia nggak ngebolehin siapa pun tahu keahliannya ngegombal kali, Chi,” kata Sena.
“Lho, memangnya kenapa? Itu kan keren banget,” aku protes.
“Kan kata kamu juga, otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis,” Gema nyengir.
“Terus, kemarin kenapa kamu ngebolehin aku ngeliat isi tulisan-tulisan kamu?”
“Nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa kalau otak kamu tuh otak jadul,” kata Gema sambil mengangkat bahu. Ekspresi wajahnya yang datar saat mengucapkan kalimat itu melahirkan sebuah cubitanku di lengan atasnya.
“Kamu tuh tulisan doang yang manis, kalau ngomong nggak manis sama sekali,” aku mencibir saat Gema protes kesakitan.
“Biarin,” Gema kembali fokus dengan kertas-kertasnya.
“Eh, Cakra ke mana? Bukannya tadi ngilang sama kamu?” kualihkan perhatianku pada Sena.
“Lagi nyiapin peralatan sama Diandra di loker karyawan.”
“Rhea mana? Nggak ikut nonton kamu latihan?”
“Diculik sama nyokapnya, nggak tahu deh mau ngapain. Mau dijodohin lagi kali, untuk yang kesekian kalinya.”
“Lha, nyokapnya emang nggak tahu kalau kalian pacaran?”
“Nggak. Kata Rhea justru bahaya kalau tahu, bisa-bisa besok gue disuruh ngapel malam mingguan, terus besoknya disuruh lamaran. Please deh, gue kan masih kuliah. Rhea juga baru mau meniti karir.”
“Nyokapnya se-drama itu ya?” aku menatap Sena takjub. Pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Ahaha, perjuanganmu tampaknya bakalan sulit, nak,” kutepuk bahu Sena sambil terkikik geli.
“Semoga meluruh seiring waktu, Chi,” kata Sena serius. Tiba-tiba terdengar Gema tertawa pelan. “Hujan badai nih nanti malam, denger lo mendadak ngomong puitis,” katanya.
“Dih, emang lo doang yang boleh puitis,” Sena menoleh ketika Cakra memanggilnya dari stage. “Yuk start latihan ah, biar nggak kemaleman selesainya,” Sena beranjak dari kursi. Sedetik kemudian Gema mengikuti, meninggalkan kertas-kertasnya begitu saja di atas meja.
Segores rasa penasaran membuatku bergeser untuk melirik hasil tulisan tangan Gema yang tak beraturan.

Rindu, aku ingin menggapainya... Menyentuh satu hati yang tengah dinanti... Mendengar satu lirik yang telah kuasai mimpi... Bahwa cinta ini tak lagi sendiri...
Satu doa yang selalu terucap pada langit... Ingin miliki dirinya dalam hari...

Dan saat aku selesai membaca tulisannya, saat itu juga aku menyesal. Damn, how could I fall to a guy’s sweet words. To his sweet words.


* * * * *



Lemonade Song - Chapter 1






Ini hari ketiga aku menemani Cakra latihan di Rendez-Vous untuk acara valentine day. Om-nya Sena – gitaris dan vokalis kedua band Cakra – jadi manajer coffee shop tersebut, dan Sena terobsesi ingin membuat suatu live music yang romantis di hari kasih sayang itu.
Valentine... Cih, aku pribadi bukan cewek romantis yang dengan mudahnya percaya cinta. kata-kata manis buat aku itu basi. Cowok yang lihai mengucapkan kata-kata manis langsung jadi kandidat pertama untuk dicoret dari daftar pujaan hati. Hmm, mungkin gara-gara itu kali ya aku nggak pernah pensiun dari status single.
“Cianti!” Cakra melambai dari satu meja saat aku memasuki Rendez-Vous. I love this cafe since the first time. Tempat yang nyaman untuk melarikan diri setelah seharian penat dengan mata kuliah atau ujian.
“Hey, Cha..,” aku menghampiri dan terhenti di depan meja. Seorang pemuda berkacamata tengah duduk di antara lembaran kertas penuh coretan.
“Oh iya, kamu belum pernah kenalan sama anggota band-ku selain Sena ya? Kenalin, ini Gema, bassis. Dan yang lagi ngobrol di deket stage itu Diandra, vokalis utama.”
Pemuda bernama Gema itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Dia hanya melambai kecil lalu kembali fokus pada lembaran kertas di hadapannya.
“Gema ini songwriter-nya kita lho, Chi. Dia kalo udah asyik dengan kertas-kertas dan gitarnya, nggak bakalan peduli sama sekitar. Mau kita teriak ampe gila juga, nggak bakalan ngaruh,” Cakra menepuk bahuku dan memberi sinyal untuk duduk di salah satu kursi di meja itu.
“Heh, kalo setiap kalian teriak kayak orang gila gue peduli, tulisan gue nggak akan pernah kelar tahu,” Gema melirik ke arah Cakra. “Udah gih, mendingan lo sound-check ma Diandra sana, daripada gangguin gue terus.”
“Iya, bawel. Mau minum apa, Chi?” tanya Cakra.
Aku menatap buku menu selama beberapa saat. Udara di luar tadi panas sekali, yang pasti aku perlu sesuatu yang dingin dan segar. Kulirik segelas cairan berwarna kuning cerah di atas meja. “Itu apa, Cha?”
“Itu minumannya Gema. Lemonade Squash.”
“Aku mau pesan itu aja deh, kayaknya segar,” kataku akhirnya.
“Oke deh. Gem, gue titip Cianti ya. Jangan diapa-apain lho.”
“Nggak bakalan. Kan kata lo juga kalian teriak-teriak aja gue nggak bakalan peduli.”
“Yaa... Siapa tahu beda kalau ada cewek cantik. Lo kan udah kelamaan jomblo, Gem,” Cakra langsung melesat kabur saat Gema berniat melempar gumpalan kertas-kertas ke arahnya.
“Dia emang kelakuannya kayak gitu ya?” tiba-tiba Gema menoleh ke arahku, yang hanya bisa kujawab dengan cengiran saja.
Pemuda itu kembali berkutat dengan kertas-kertasnya, sesekali memetik gitar yang berada di pangkuan. Dih, aku emang nggak cantik ya, Gema nggak menoleh sama sekali ke arahku, batinku bercanda.
“Gema! Si Sena udah datang nih! Sound-check bareng-bareng dulu yuk!” Cakra teriak dari arah stage.
“Hei, bisa titip kertas-kertasku sebentar?” Gema melirik ke arahku sambil bangkit dari kursinya. Aku mengangguk pelan dan meletakkan gelas lemonade squash, lalu berkata, “Eh, keberatan nggak kalau aku lihat-lihat kertas kamu?”
Gema hanya mengangkat bahu dan melambai, kemudian melangkah tergesa menuju stage.
Kucondongkan tubuhku ke arah meja, ke arah tumpukan kertas-kertas penuh coretan tangan Gema. Widih, cowok itu jago ulis not balok juga ternyata, sesuatu yang sempat aku kuasai waktu jaman SD dan SMP namun kemudian terlupa.
Beberapa kertas sudah terisi oleh barisan kata.

Hasrat tertatih ingin temukanmu, kekasih... Rindu bersemayam sandingi penantian... Lelah melangkah sendiri arungi segenap mimpi... Berharap kau ada di tepi pencarian...

Aku mendadak memandang sosok berkacamata yang tengah beradu mulut dengan Cakra. Seriously? Kalimat cinta ini keluar dari otaknya Gema?
Kubaca lembaran lainnya, menemukan deretan lain lirik lagu Gema, yang juga bercerita tentang rindu.

Hey, malam... Bolehkah aku sekejap terlena... Akan satu percik yang kusadar maya... Meski tersadar ingin jadikannya nyata...

Kuletakkan kertas-kertas itu di atas meja. Aku memang bukan tipe yang mudah terbuai oleh kata-kata manis, namun entah mengapa membaca tulisan Gema membuatku bertanya, siapa gerangan gadis beruntung yang suatu saat akan menerima limpahan kata-kata itu.


* * * * *



Saturday, 17 August 2013

Peppermint Message - Epilog





Yoga melangkah memasuki locker karyawan untuk menemui Rion yang tengah membereskan barang-barangnya. Jam kerja overtime-nya sudah selesai setengah jam yang lalu, dan Yoga bersyukur masih menemukan pemuda itu di locker.
“Ri, ada sesuatu buatmu,” Yoga mengulurkan sebuah kertas quisioner pada Rion. “Heh, quisioner paper? Memangnya Rendez-Vous sedang menyebarkan ini ya? Kok aku baru tahu?” tanya Rion heran.
Nope, I just found one inside my monthly report book, and took one lil’ initiative, who had thought it would end up good,” Yoga melambai dan menghilang dari ruangan.
Rion melirik selintas kertas di tangannya, berisi nama seorang gadis – Clara Sandryatifa, program studi – Teknik Kimia, nomor handphone, alamat email, beberapa tanda silang dalam kolom sangat setuju-setuju-kurang setuju-tidak setuju-sangat tidak setuju. Namun sebuah tulisan di kolom kritik dan saran – di bagian paling bawah quisioner – menarik perhatian Rion. Kalimat singkat dengan tulisan tangan rapi.

               Mas Rion,
               Peppermint tea-nya beneran enak kok..
              Dan aku lebih suka peppermint tea buatanmu.. :)


Dan Rion segera menyimpan kertas quisioner itu ke dalam saku jaketnya, sambil tersenyum. He'll give her a call tonight, for sure..






Peppermint Message - Chapter 2





“Ethan, table 10, dua frozen choco-oreo, satu lemon squash, dan satu peppermint tea!” Catrina – salah satu waitress part time, berteriak di pintu dapur. Aku berlari ke arah pintu untuk mengintip isi coffee shop. Aha, itu gadis peppermint tea. Dan tiba-tiba aku tergoda untuk melakukan penelitian kecil.
“Ethan, aku yang meracik peppermint tea ya?” kataku.
“Oke. Nih, tangkap,” Ethan melempar kotak tea bags ke arahku dan menyibukkan dirinya dengan slush machine. “Tumben ni anak inisiatif duluan, biasanya kalau udah kepepet baru mau ngebantuin,” komentar Anton dari balik oven.
“Hey, aku udah dapat sertifikat lulus dari Ethan untuk meracik peppermint tea, jadi boleh dong langsung dipraktekkan,” aku menanggapi sambil nyengir.
Sepuluh menit kemudian Catrina masuk ke dapur untuk mengambil pesanan, sekaligus menyerahkan order makanan pada Anton. Aku berjingkat ke arah cashier, sehingga dapat mengamatinya lebih jelas.
“Hey, Ri, ngapain di sini?” tanya Yoga heran.
“Mau belajar bikin laporan dong, boleh nggak? Jadi kalau akhir bulan nanti aku bisa bantuin kamu juga,” aku memberi alasan, sementara pandangan mataku terus tertuju pada meja nomor 10.
“Ehm, mau belajar bikin laporan atau mau memperhatikan seseorang?” ucapan Yoga membuatku segera mengalihkan perhatian ke arahnya, yang balik menatapku sambil tersenyum. “Udah, nggak usah pake alasan basi segala. Kamu jagain kasir aja kalau gitu, biar aku yang bertugas di belakang bantuin Anton,” pemuda itu menepuk bahuku, senyumnya tak juga berhenti, malah semakin lebar. “Sekalian ngegosip,” sambungnya.
Aku melangkah menuju cash machine, sesekali melirik ke meja 10, melirik ke satu gadis yang selama seminggu ini reaksinya terus menghantui pikiranku. Aku bukannya tipe orang yang terlalu memperdulikan pendapat orang lain, but since Ethan himself said that my peppermint tea has a same taste with his, lalu kenapa gadis itu bereaksi berbeda?
Tubuhku menegang ketika melihat gadis itu menyeruput tehnya. Oh, God, please, tell me that I just overreacts over small thing, that I just misread her respond, that her respond had no connection with my tea, that...
Dan rangkaian doaku terhenti ketika gadis itu kembali mengerutkan keningnya. Ia menatap isi gelasnya, kemudian menyeruputnya sekali lagi, dan terdiam. Seorang temannya menoleh ke arahnya, mungkin menanyakan sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum manis, kemudian mereka berempat pun kembali tenggelam dalam sebuah percakapan.
Dan aku hanya mampu mencaci dalam hati. Mencaci rasa penasaranku, mencaci penelitian kecilku, dan mencaci rangkaian doaku yang tak terkabul.

* * * * *

“Hey, Rion, bisa overtime sore ini? Angga mendadak nggak bisa masuk kerja karena ada kelas tambahan,” Mr. Ardian – manajer Rendez-Vous – menghampiriku yang sedang serah terima tugas dengan Yoga. Hari ini Yoga memang bertugas di sore hari, sehingga sesiangan tadi aku yang berjaga di meja cashier.
Aku baru saja hendak menolak tawaran Mr. Ardian – mengingat setumpuk paper yang harus dikerjakan malam ini – ketika gadis peppermint tea itu melangkah masuk, sendirian. “Ah, aku bisa kok, Mr. Ardian. Tapi akhir tahun ini bonusku besar ya?” aku mengencangkan tali apron-ku yang sudah setengah terbuka, lalu tertawa ketika Mr. Ardian memukul bahuku pelan dengan organizer-nya.
Kulangkahkan kakiku ke dapur, dan lima menit kemudian Yoga datang membawa order yang sudah kutunggu – peppermint tea, bersama dengan chicken garden salad. “Kamu yang mau meracik pepermint tea-nya?” Ethan melangkah ke sampingku.
“Yap. Boleh kan?” tanyaku.
“Dengan senang hati. Sering-sering aja seperti itu, meringankan tugasku,” Ethan menanggapi sambil tertawa, membuahkan cibiran dariku. Tak lama Naia – waitress jaga sore itu – datang mengambil minumannya, sementara perlu waktu sepuluh menit lagi bagi Anton untuk menyelesaikan chicken garden salad.
Aku melipir ke arah pintu dapur, menanti reaksi dari gadis peppermint tea itu setelah menyeruput racikanku. Hmm, dia pasti akan mengerutkan keningnya lagi, dan menatap ke dalam gelasnya seolah-olah ada yang aneh di dalam sana, mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada, mencari sesuatu yang tidak akan ada bila teh itu diracik oleh Ethan. Aku masih mencari-cari apa yang berbeda dari peppermint tea racikanku dan peppermint tea racikan Ethan, bahkan memperhatikan langsung ketika Ethan meraciknya, dan aku belum bisa menemukan dimana letak perbedaannya – sesuatu yang luput dari perhatianku namun langsung dia sadari kali pertama dia meneguk tehnya.
Gadis itu menutup buku bacaannya ketika Naia meletakkan peppermint tea. Dia menghirup aromanya sekejap sebelum mulai menyeruputnya, dan seperti yang kuduga, sebuah kerutan muncul di keningnya. Gadis itu menyeruputnya sekali lagi, lalu kembali meneruskan bacaannya sambil tersenyum.
Senyuman yang membuatku terkejut.
Senyuman yang membuatku ingin mengetahui artinya.
Senyuman yang segera membuatku mengambil alih baki berisi chicken garden salad dari tangan Yoga dan meluncur ke meja tempat gadis itu berada.
“Selamat sore, mbak. Chicken garden salad-nya,” aku menyapa sambil berusaha menenangkan detak jantungku sendiri.
“Ah, terima kasih, mas,” gadis itu menggeser peppermint tea-nya. Aku baru saja membalikkan tubuhku ketika gadis itu kembali bersuara, “Mas, yang ngeracik peppermint tea ada dua orang ya?”
Kuputar kembali tubuhku dan mendapati dia tengah tersenyum manis ke arahku. “Iya, kok mbak bisa tahu. Memang rasanya beda ya?”
“Yang ngeracik peppermint tea hari ini siapa?”
“Itu saya yang ngeracik, mbak. Saya baru dua minggu ini belajar ngeracik dari mas Ethan, jadi maaf kalau rasanya kurang. Bedanya di mana ya, mbak? Biar nanti saya perbaiki.”
“Aku nggak bisa bilang di mana bedanya sih, mas. Nggak kentara kok bedanya, tapi terasa aja. Mungkin karena aku udah terbiasa minum peppermint tea racikannya mas Ethan kali ya, jadi begitu minum racikan yang lain terasa bedanya. Tapi racikan yang ini juga enak kok, mas,” sebuah senyum kembali terlahir dari bibirnya.
“Oh ya? Terima kasih buat pendapatnya, mbak,” aku membalas senyumnya dan mengangguk pelan, kemudian melangkah kembali ke dapur sambil berusaha terlihat tenang. Baru ketika sampai di sudut dapur, aku bersandar di dindingnya dan merosot hingga terduduk, lalu menutup wajahku dengan kedua tangan.
“Ri, ada apa? Gadis itu memangnya tadi bilang apa?” Yoga segera berlari menghampiriku. “Hey, ada apa memangnya?” Anton melangkah menghampiriku dan Yoga. “Nggak tahu. Gadis di meja 10 itu tadi bilang sesuatu sama Rion, aku juga ingin tahu ada apa,” Yoga menepuk kepalaku.
“Dia bilang peppermint tea-ku enak. Dia langsung tahu itu bukan racikan Ethan karena sebelumnya dia terbiasa minum peppermint tea­-nya Ethan. Dia bisa ngebedain rasanya, meskipun dia nggak tahu di mana bedanya. Tapi dia bilang peppermint tea racikanku juga enak,” aku bergumam panjang-lebar, masih menyembunyikan wajahku dengan kedua tangan.
“Dih, aku kira ada apa. Rupanya si gila ini lagi jatuh cinta,” Yoga mendorong pelan kepalaku. “Sudah, bubar semuanya. Kembali lagi ke meja masing-masing,” Anton menimpali.
“Kalian ini, simpati sedikit kek sama temannya yang lagi galau,” protesku sambil melempari mereka satu persatu dengan gulungan kertas yang kutemukan di tempat sampah kering di dekatku. Seisi dapur hanya menanggapiku dengan tertawa.
Overtime sore itu kuhabiskan dengan membantu Ethan atau Anton di dapur, entah mengapa aku mendadak tak sanggup melangkahkan kakiku ke area coffee shop. Meskipun ingin melihat gadis itu lagi, melihat reaksinya lagi saat menyeruput peppermint tea racikanku, namun rasanya kejutan hari ini sudah lebih dari cukup atau aku khawatir jantungku akan berhenti berdetak.


* * * * *


Peppermint Message - Chapter 1






“Met siang!” aku melangkah ke arah dapur. “Sorry telat, dosen pembimbing bermasalah lagi. Janjian jam 9 baru nongol sejam kemudian,” sambungku.
“Nih, bikin peppermint tea,” Angga melemparkan apron Rendez-Vous padaku, kemudian sibuk menata piring-piring selanjutnya.
“Whoa, sibuk sekali ya hari ini, sampai kalian nggak ada basa-basi,” aku menanggapi, lalu segera mengambil gelas melihat Ethan melotot ke arahku. “Hey, seriusan nih aku yang bikin peppermint tea?” tanyaku pada Ethan yang sibuk berkutat dengan coffee machine-nya.
“Iya, udah tahu kan bahannya apa saja. Tea bags, mint leaves, honey, lemon juice,” Ethan menjelaskan cepat sambil membawa gelas-gelas pesanan keluar dapur untuk menyerahkannya pada waiter.
Aku baru bekerja part-time di Rendez-Vous selama 4 bulan, seringnya hanya sebagai waiter yang bertugas menulis pesanan dan mengantarkannya ke meja costumer, atau sesekali membantu Yoga di bagian cashier. Baru 2 minggu ini aku belajar menyeduh teh dari Ethan. Awalnya hanya black tea biasa, lalu meningkat menjadi berbagai variasi teh seperti peppermint tea, ginger tea, dan mojito.
“Meja berapa sih?” tanyaku.
“Meja 15. Sini, biar aku yang antar. Kamu bantu Anton saja,” Angga mengambil baki dan mulai menata gelas-gelas di atasnya. Aku melipir ke dekat Anton, menaruh garnish pada piring berisi tuna fusilli dan menyiapkan fresh garden salad.
“Ini meja berapa?” tanyaku lagi.
“Meja 15 juga,” kata Anton singkat. Aku menunggu Angga kembali namun pemuda itu langsung sibuk ketika beberapa pengunjung memasuki coffee shop. “Aku yang antar ya?” aku memberitahu Anton dan melangkah keluar dapur. Namun tak lama Angga kembali dan mengambil alih baki pesanan dari tanganku. “Hari apa sih ini? Tumben Rendez-Vous penuh banget,” pemuda itu mengomel pelan sebelum berlalu.
Aku mengedarkan pandangan ke seisi coffee shop dan setuju dengan komentar Angga. Jam baru menunjukkan pukul 11 siang, namun hampir 80% meja terisi costumer, dan mengingat hari ini adalah hari Rabu, cukup takjub juga melihatnya.
Tatapanku kemudian jatuh pada seorang gadis di meja 15 yang tengah menyeruput segelas tea dengan irisan lemon di tepian gelasnya. Ha, itu peppermint tea racikanku. Aku memperhatikannya sekedar untuk mengetahui bagaimana reaksinya, dan cukup terkejut melihat gadis itu mengerutkan keningnya sambil menatap isi gelas tersebut beberapa saat.
“Hey, Ethan,” aku segera berlari kembali ke dapur, sekaligus membawa order yang diberikan Angga kepadaku. “Mengenai resep peppermint tea yang tadi kubuat, apa sudah benar?” Dan aku menyebutkan satu persatu bahan yang kugunakan beserta takarannya. Ethan mengangguk membenarkan, yang membuatku terdiam. Lalu, mengapa gadis itu mengerutkan keningnya?
“Memangnya kenapa, Ri?” Ethan bertanya ketika melihat reaksiku.
“Nggak ada apa-apa kok. Nih, ada order baru dari Angga, apa yang bisa aku bantu?”

* * * * *

Hari ini gadis peppermint tea itu muncul lagi bersama ketiga temannya, dan kali ini peppermint tea yang diantarkan adalah racikannya Ethan – berhubung coffee shop sedang sepi siang ini. Aku tergoda untuk mengetahui reaksinya, sehingga sengaja aku berdiam di dekat Yoga, membantunya merapikan berkas pembukuan akhir bulan. Kuperhatikan gadis itu ketika ia mulai menyeruput minumannya, ia terdiam sesaat, namun kemudian kembali bergabung dengan percakapan teman-temannya.
What? Different respond?” bisikku tak percaya. Aku kembali ke dapur, menuangkan secangkir kecil peppermint tea racikan Ethan dan membuat segelas peppermint tea – sesuai yang kubuat beberapa hari yang lalu, lalu membandingkannya. Rasanya sama kok, batinku.
“Kenapa, Ri?” Ethan menghampiriku yang tengah termenung sambil menatap kedua gelas bergantian. “Hey, would you like to try these and tell me the differences of them?” tanyaku pada Ethan.
Ethan mencoba dan mengerutkan keningnya, “Sama kok rasanya. Memangnya ada apa? Ada yang complaint?”
“Nggak kok, nggak ada complaint apa-apa. Hey, berarti aku sudah lulus buat bikin peppermint tea ya?” kataku sambil nyengir. “Kalau belum lulus, aku tak akan membiarkanmu membuatnya beberapa hari yang lalu, tahu,” Ethan mendorong kepalaku pelan dengan tangannya. “Sana jaga di cashier, biar Yoga bisa fokus ngerjain laporan,” sambungnya lagi.
“Lalu, kenapa reaksinya berbeda saat meminum racikanku dan racikannya Ethan?” gumamku.


* * * * *



Sunday, 24 February 2013

Sparkling Blue - Chapter 2





Aku melangkah memasuki Rendez-Vous dengan sebuah textbook tentang PTSD dan laptop di tangan. Cukup terinspirasi oleh cerita Trisa tentang keponakannya, mungkin bisa membuat otakku ‘tergerak’ untuk mengajukan penelitianku mengenai hal itu. Banyak bencana alam dahsyat terjadi di Indonesia, yang dapat memicu lahirnya sindrom PTSD pada beberapa orang, meskipun itu mungkin belum menjadi perhatian penuh pemerintah atau aparat kesehatan di negeri ini.
“Mas, black coffee ya?” aku berkata kepada seorang waiter sebelum duduk di satu meja dekat jendela yang kebetulan kosong sore ini. Kukeluarkan setumpuk kertas buram dari dalam tas sebelum mulai membuka textbook.
Post-Traumatic Stress Disorder atau disingkat sebagai PTSD muncul setelah seseorang mengalami kejadian yang mengancam keselamatannya atau membuatnya merasa tak tertolong. PTSD dapat terjadi pada seseorang yang mengalami bencana alam, yang menyaksikan bencana alam, atau yang menangani masalah terebut setelahnya – seperti petugas emergency atau petugas hukum. Yang membedakan antara PTSD dengan trauma biasa adalah pada seseorang yang mengalami trauma biasa, stres atau respon yang terjadi hanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu, namun kemudian akan berangsur menghilang. Pada penderita PTSD, dalam jangka waktu singkat respon tidak juga menghilang, dan seringkali malah bertambah parah.”
 Aku menurunkan textbook-ku dan melepas kacamata, memandang keluar jendela dimana matahari senja mulai memberi corak oranye pada bangunan kampus. Sekumpulan mahasiswi berpakaian putih-hitam yang berkumpul di satu meja di teras luar Rendez-Vous menarik perhatianku. Ah, I know someone there. The cheerful girl who unexpectedly has a tough soul.
Tanpa sadar mataku terus terkunci pada sosok yang tengah bercanda bersama teman-temannya, sambil sesekali meneguk sparkling water yang tak pernah lepas dari tangan. Ah, so that’s her favorite drink, batinku. Kututup textbook di hadapanku lalu bersandar pada kursi, memilih untuk menatap satu pemandangan indah di sore hariku yang cerah. Memperhatikan ekspresi seriusnya saat menulis sesuatu di agendanya, memperhatikan wajah tertawanya saat tengah bercanda. Dan terutama memperhatikan detak jantungku yang berubah tak berirama saat menatapnya.

* * * * *

“Rama!” Andrew – teman satu angkatanku – memanggil ketika aku setengah berlari menuruni tangga dari lantai 3, tempat ruang dosen berada. “Bagaimana pengajuan judul tugas akhirmu?” tanyanya ketika aku sudh berada di sebelahnya.
Finally, it’s approved,” kataku. Aku akhirnya memutuskan untuk mengajukan penelitian tentang PTSD yang berfokus pada korban bencana gempa bumi. Let’s leave the PTSD for flood victims to Trisa, the one who is so experience in it, thou thanks to her akhirnya aku mendapat judul dan alasan penelitian yang tepat untuk tugas akhirku.
“Hey, Trisa. What’s your plan this afternoon? Mau ikut kami nonton nggak?” suara seseorang – well, lebih tepatnya karena nama seseorang dipanggil – membuatku menoleh ke arah sumber suara di belakangku.
Ah, it’s lovely when ospek time is over. Mahasiswi baru dengan gayanya mereka masing-masing cukup untuk menghibur mata dan otak yang kelelahan akibat memikirkan tugas akhir,” Andrew menatap ke arah yang sama denganku. I can’t more agree with him, terutama saat melihat Trisa dengan rok putih dan polo-shirt hijaunya. Ah, she’s so charming.
Sorry, girls. Won’t join you today. Aku mau mendinginkan otakku di Rendez-Vous saja ah. Still have a project to be done,” gadis itu melambaikan sebuah novel tebal sambil tertawa. Lalu pamit dan menghilang dari gedung perkuliahan, ke satu arah yang aku kenal dengan baik.
Hey, if you like her, go get her, Ram. Kau tahu kan banyak serigala lapar di Psikologi ini, terutama saat tahun ajaran baru seperti sekarang,” Andrew menepuk pundakku. “I know what’s on your mind. I’ve been your friend for 4 years, if you don’t remember,” sambungnya lagi, yang membuatku nyengir lebar.

* * * * *

Sore itu langit cukup berawan, ketika Rama berjalan perlahan melintasi Rendez-Vous. Gadis dengan polo-shirt hijau itu tengah duduk di satu meja di teras luar coffee shop, dengan novel di tangan dan segelas sparkling water di hadapan, tak tersentuh oleh bisingnya kegiatan mahasiswa di sekitar atau oleh dirinya yang melangkah mendekat. Dia baru mengangkat wajah ketika Rama menyapa, dan seketika itu senyum manisnya pun terlahir.
“Ah, kak Rama. Apa kabar?”