Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday, 14 June 2014

Sugar Afternoon - Chapter 1




Rabu, 2 Mei
Setengah jam sebelum shift kerjaku di Rendez-Vous dimulai, dan lagi-lagi aku terduduk di kursi terluarnya. Menatap lapangan sepakbola fakultas desain. Menatap satu sosok kiper yang entah sejak kapan pastinya mulai memenjarakan pandanganku. Ia selalu tampak berkilau, menantang teriknya sinar mentari sore. Matanya selalu fokus pada aliran gerak bola, tak memperdulikan kerumunan gadis yang berteriak dari dekat. Satu sisi hatiku bersyukur bahwa mereka tak berhasil menarik perhatiannya. Sisi lain berharap aku dapat berada di sana, sekedar untuk mengetahui siapa namanya. Duh, Tuhan, aku jatuh hati pada satu malaikat senja tak bernama, entah karena apa, dan entah sejak kapan cerita ini bermula.

Tulisanku terhenti ketika sebuah tendangan jarak jauh berhasil ditepisnya, dan dia langsung melompat kegirangan, menyambut tepukan selamat dari teman-teman satu timnya. Ha, orang gila mana yang nekat main sepakbola dengan mengenakan kemeja putih, batinku. Namun, lebih gila lagi satu jiwa yang bisa jatuh hati pada seseorang tanpa mengenalnya.
“Naia,” panggilan seseorang menghentikan lamunanku. Aku menoleh dan mendapati Anthony berdiri di pintu karyawan – yang letaknya dekat dengan tempatku duduk. “Sebentar lagi shift-mu dimulai. Sebaiknya kan segera masuk dan bersiap-siap,” Anthony mengetuk jam tangannya pelan, lalu menghilang kembali ke balik pintu.
Aku menghela nafas panjang dan menutup buku catatanku. Menatap ke arah lapangan sepakbola sebelum akhirnya berdiri dan menyusul Anthony.

* * * * *

Jumat, 4 Mei
Hari ini aku kembali datang lebih awal, menikmati setengah jam sendiriku di kursi terluar Rendez-Vous, menatap lapangan sepakbola. Mungkin sekitar 2 bulan yang lalu kali pertama aku melihatnya, saat aku memutuskan mengerjakan tugas presentasiku di Rendez-Vous, dan berharap suasana sore yang segar di antara rimbun pepohonan dapat mengalirkan banyak ide ke dalam otak. Ide yang langsung membeku ketika pandanganku jatuh pada sosoknya. Dan sejak itu, sejauh apapun dia berada, sebanyak apapun orang berkerumun di dekatnya, mata ini dapat menemukannya dalam sekejap. Dan sejak itu pula aku selalu menghitung hari, hari di mana aku bisa duduk di kursi ini, dan dia berada di lapangan itu.

Ah, tawa itu terlahir lagi ketika ia berhasil menahan laju bola. Kututup buku catatanku, untuk menghabiskan menit-menit terakhirku memperhatikan tingkah lakunya, sebelum Anthony memanggilku untuk bersiap-siap.

* * * * *

Rabu, 9 Mei
Hari ini mendung datang tiba-tiba, membawa serta kilatan petir yang membuat permainan sepakbola itu terhenti lebih cepat. Ia segera berlari kembali ke gedung kuliahnya dan menghilang. Duh, Tuhan, mengapa harus kau hadirkan hujan hari ini? Meniadakan kesempatanku yang hanya sedikit untuk mengagumi dia. Terlarangkah menyukai seorang malaikat? Meski aku tak bersuara? Meski hanya menatapnya dari jauh? Jika sedari awal memang aku tak berhak, mengapa kau lahirkan rasa ini dalam hati?


“Ah, hujan sialan,” aku menggerutu ketika tetes demi tetes air mulai jatuh dari langit. Kulirik jam tanganku, masih 20 menit lagi sampai shift kerjaku dimulai. Kukeluarkan novel dari dalam tas dan memutuskan untuk meneruskan bacaanku, meski sesekali kulirik lapangan sepakbola, berharap sedikit keajaiban memihak padaku. Namun ternyata tidak.





No comments:

Post a Comment