Setengah
jam sebelum shift kerjaku di Rendez-Vous dimulai, dan lagi-lagi aku terduduk di
kursi terluarnya. Menatap lapangan sepakbola fakultas desain. Menatap satu
sosok kiper yang entah sejak kapan pastinya mulai memenjarakan pandanganku. Ia
selalu tampak berkilau, menantang teriknya sinar mentari sore. Matanya selalu
fokus pada aliran gerak bola, tak memperdulikan kerumunan gadis yang berteriak
dari dekat. Satu sisi hatiku bersyukur bahwa mereka tak berhasil menarik
perhatiannya. Sisi lain berharap aku dapat berada di sana, sekedar untuk
mengetahui siapa namanya. Duh, Tuhan, aku jatuh hati pada satu malaikat senja
tak bernama, entah karena apa, dan entah sejak kapan cerita ini bermula.
Tulisanku terhenti ketika sebuah tendangan jarak
jauh berhasil ditepisnya, dan dia langsung melompat kegirangan, menyambut
tepukan selamat dari teman-teman satu timnya. Ha, orang gila mana yang nekat
main sepakbola dengan mengenakan kemeja putih, batinku. Namun, lebih gila lagi
satu jiwa yang bisa jatuh hati pada seseorang tanpa mengenalnya.
“Naia,” panggilan seseorang menghentikan
lamunanku. Aku menoleh dan mendapati Anthony berdiri di pintu karyawan – yang
letaknya dekat dengan tempatku duduk. “Sebentar lagi shift-mu dimulai. Sebaiknya kan segera masuk dan bersiap-siap,”
Anthony mengetuk jam tangannya pelan, lalu menghilang kembali ke balik pintu.
Aku menghela nafas panjang dan menutup buku
catatanku. Menatap ke arah lapangan sepakbola sebelum akhirnya berdiri dan
menyusul Anthony.
* * * * *
Jumat, 4
Mei
Hari ini
aku kembali datang lebih awal, menikmati setengah jam sendiriku di kursi
terluar Rendez-Vous, menatap lapangan sepakbola. Mungkin sekitar 2 bulan yang
lalu kali pertama aku melihatnya, saat aku memutuskan mengerjakan tugas
presentasiku di Rendez-Vous, dan berharap suasana sore yang segar di antara
rimbun pepohonan dapat mengalirkan banyak ide ke dalam otak. Ide yang langsung
membeku ketika pandanganku jatuh pada sosoknya. Dan sejak itu, sejauh apapun
dia berada, sebanyak apapun orang berkerumun di dekatnya, mata ini dapat
menemukannya dalam sekejap. Dan sejak itu pula aku selalu menghitung hari, hari
di mana aku bisa duduk di kursi ini, dan dia berada di lapangan itu.
Ah, tawa itu terlahir lagi ketika ia berhasil
menahan laju bola. Kututup buku catatanku, untuk menghabiskan menit-menit
terakhirku memperhatikan tingkah lakunya, sebelum Anthony memanggilku untuk
bersiap-siap.
* * * * *
Rabu, 9
Mei
Hari ini
mendung datang tiba-tiba, membawa serta kilatan petir yang membuat permainan
sepakbola itu terhenti lebih cepat. Ia segera berlari kembali ke gedung
kuliahnya dan menghilang. Duh, Tuhan, mengapa harus kau hadirkan hujan hari
ini? Meniadakan kesempatanku yang hanya sedikit untuk mengagumi dia.
Terlarangkah menyukai seorang malaikat? Meski aku tak bersuara? Meski hanya
menatapnya dari jauh? Jika sedari awal memang aku tak berhak, mengapa kau
lahirkan rasa ini dalam hati?
“Ah, hujan sialan,” aku menggerutu ketika tetes
demi tetes air mulai jatuh dari langit. Kulirik jam tanganku, masih 20 menit
lagi sampai shift kerjaku dimulai.
Kukeluarkan novel dari dalam tas dan memutuskan untuk meneruskan bacaanku,
meski sesekali kulirik lapangan sepakbola, berharap sedikit keajaiban memihak
padaku. Namun ternyata tidak.
No comments:
Post a Comment