Hari ini aku kembali duduk di Rendez-Vous
bertemankan segelas dingin lemonade
squash. Thanks to Cakra yang satu
jam lalu dengan suksesnya menarikku dari gedung kuliah untuk membantunya
mendokumentasikan latihan sore ini.
Aku tengah memainkan camcorder di tangan ketika Gema duduk di sampingku. “Hei, mana
Cakra?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu, “Entah, tadi menghilang sama
Sena.”
“Dianggurin dong?” dia nyengir kecil.
“Iya. Sialan. Udah narik-narik aku dari gedung
kuliah, terus dianya malah menghilang.”
Gema hanya tertawa sambil mengeluarkan gitar dari
dalam kantong, dan mulai menyetel senarnya. Tak lama samar-samar terdengar
petikan lagu yang familiar di telinga.
“Eh, kayaknya pernah denger deh lagunya,” kuangkat
wajahku dari display camcorder.
“Apa coba?” tanyanya sambil tersenyum.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu,” kuperhatikan
alunan nada yang terus mengalir dari jemari Gema, hingga masuk pada bagian reffrain. “Ah! Pasangan Jiwa-nya Katon
Bagaskara ya?” kataku akhirnya.
“Wah, tahu juga sama karyanya Katon?” Gema
menatapku heran.
“Fans
berat, hehe. Aku suka cara dia merangkai kata-kata indah, yang terkesan puitis
tapi tetap sederhana. Musisi jaman sekarang nggak ada yang bisa berkarya
seperti itu. Kalaupun masih ada, pasti langka banget,” aku menerangkan panjang
lebar.
“Karena pasar musik jaman sekarang sudah sulit
menerima kata-kata puitis,” Gema menanggapi.
“Otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata
puitis ya?” kataku sambil nyengir.
“Ahaha. Kesimpulannya sadis amat,” Gema tertawa
geli, membuahkan kerutan heran di dahiku. “Heh? Kamu bisa ketawa juga ya?”
tanyaku refleks.
“Sialan lo!” pemuda itu langsung cemberut, yang
justru malah menciptakan cengiran di wajahku.
Satu lagu baru terdengar dari permainan gitar
Gema. Nada yang asing sama sekali di telinga. Halus, mengalir, tapi entah
mengapa terasa sendu. Dan berhasil membuatku terdiam sepanjang permainannya.
“Lagu siapa?” tanyaku pelan saat petikannya
berakhir.
“Lagu iseng-iseng aja,” katanya.
“Heh? Seriously?
Lagu kayak gini dibilang iseng, gimana seriusnya?” aku menatap Gema tak
percaya, sementara pemuda itu hanya tersenyum dan dengan tenangnya meletakkan
gitar di samping meja. “Liriknya udah ada?” tanyaku lagi.
“Masih coret-coret aja,” dia menanggapi. “Masih
mencari lirik dan mood yang cocok
dengan musiknya.”
Aku menatap pemuda di hadapanku dengan takjub.
Gema bukan hanya jago merangkai kata, namun ia juga jenius dalam mencipta nada.
“Gema!” suara seseorang dari belakangku
mengalihkan perhatian kami berdua. Tampak Sena tengah berjalan menghampiri
sambil tersenyum usil. “Ciee... PDKT sama saudaranya si Cakra nih?” goda Sena.
“Ngarang,” Gema menanggapi singkat, sambil
mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak
berubah, yang entah mengapa membuatku sedikit kecewa.
“Duh, Gema, dingin banget sih lo. Kapan punya
pacar kalau begini terus. Itu cewek-cewek pada ngantri nggak ada satupun yang
bikin lo tertarik ya?” Sena menarik satu kursi di dekatku. “Gue sampai curiga
jangan-jangan dia ini gay,” Sena berbisik
padaku, namun dengan volume suara yang masih dapat terdengar oleh Gema.
“Sialan otak lo!” Gema menyodok dahi Sena dengan
batang pensil.
“Gema kan pujangga cinta, pastinya banyak banget
cewek-cewek yang melting habis baca
kata-kata cintanya dia,” aku menanggapi, lagi-lagi terkejut dengan sepercik
rasa kecewa yang terlahir di hati.
“Ahaha. Dia nggak ngebolehin siapa pun tahu
keahliannya ngegombal kali, Chi,” kata Sena.
“Lho, memangnya kenapa? Itu kan keren banget,” aku
protes.
“Kan kata kamu juga, otak anak muda sekarang susah
mencerna kata-kata puitis,” Gema nyengir.
“Terus, kemarin kenapa kamu ngebolehin aku ngeliat
isi tulisan-tulisan kamu?”
“Nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa kalau otak
kamu tuh otak jadul,” kata Gema sambil mengangkat bahu. Ekspresi wajahnya yang
datar saat mengucapkan kalimat itu melahirkan sebuah cubitanku di lengan atasnya.
“Kamu tuh tulisan doang yang manis, kalau ngomong
nggak manis sama sekali,” aku mencibir saat Gema protes kesakitan.
“Biarin,” Gema kembali fokus dengan
kertas-kertasnya.
“Eh, Cakra ke mana? Bukannya tadi ngilang sama
kamu?” kualihkan perhatianku pada Sena.
“Lagi nyiapin peralatan sama Diandra di loker
karyawan.”
“Rhea mana? Nggak ikut nonton kamu latihan?”
“Diculik sama nyokapnya, nggak tahu deh mau
ngapain. Mau dijodohin lagi kali, untuk yang kesekian kalinya.”
“Lha, nyokapnya emang nggak tahu kalau kalian
pacaran?”
“Nggak. Kata Rhea justru bahaya kalau tahu,
bisa-bisa besok gue disuruh ngapel malam mingguan, terus besoknya disuruh
lamaran. Please deh, gue kan masih
kuliah. Rhea juga baru mau meniti karir.”
“Nyokapnya se-drama itu ya?” aku menatap Sena
takjub. Pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Ahaha, perjuanganmu tampaknya
bakalan sulit, nak,” kutepuk bahu Sena sambil terkikik geli.
“Semoga meluruh seiring waktu, Chi,” kata Sena
serius. Tiba-tiba terdengar Gema tertawa pelan. “Hujan badai nih nanti malam,
denger lo mendadak ngomong puitis,” katanya.
“Dih, emang lo doang yang boleh puitis,” Sena
menoleh ketika Cakra memanggilnya dari stage.
“Yuk start latihan ah, biar nggak
kemaleman selesainya,” Sena beranjak dari kursi. Sedetik kemudian Gema
mengikuti, meninggalkan kertas-kertasnya begitu saja di atas meja.
Segores rasa penasaran membuatku bergeser untuk
melirik hasil tulisan tangan Gema yang tak beraturan.
“Rindu, aku
ingin menggapainya... Menyentuh satu hati yang tengah dinanti... Mendengar satu
lirik yang telah kuasai mimpi... Bahwa cinta ini tak lagi sendiri...
Satu doa
yang selalu terucap pada langit... Ingin miliki dirinya dalam hari...”
Dan saat aku selesai membaca tulisannya, saat itu
juga aku menyesal. Damn, how could I fall
to a guy’s sweet words. To his sweet words.
* * * * *
No comments:
Post a Comment