Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday, 21 December 2013

Lemonade Song - Chapter 2






Hari ini aku kembali duduk di Rendez-Vous bertemankan segelas dingin lemonade squash. Thanks to Cakra yang satu jam lalu dengan suksesnya menarikku dari gedung kuliah untuk membantunya mendokumentasikan latihan sore ini.
Aku tengah memainkan camcorder di tangan ketika Gema duduk di sampingku. “Hei, mana Cakra?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu, “Entah, tadi menghilang sama Sena.”
“Dianggurin dong?” dia nyengir kecil.
“Iya. Sialan. Udah narik-narik aku dari gedung kuliah, terus dianya malah menghilang.”
Gema hanya tertawa sambil mengeluarkan gitar dari dalam kantong, dan mulai menyetel senarnya. Tak lama samar-samar terdengar petikan lagu yang familiar di telinga.
“Eh, kayaknya pernah denger deh lagunya,” kuangkat wajahku dari display camcorder.
“Apa coba?” tanyanya sambil tersenyum.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu,” kuperhatikan alunan nada yang terus mengalir dari jemari Gema, hingga masuk pada bagian reffrain. “Ah! Pasangan Jiwa-nya Katon Bagaskara ya?” kataku akhirnya.
“Wah, tahu juga sama karyanya Katon?” Gema menatapku heran.
Fans berat, hehe. Aku suka cara dia merangkai kata-kata indah, yang terkesan puitis tapi tetap sederhana. Musisi jaman sekarang nggak ada yang bisa berkarya seperti itu. Kalaupun masih ada, pasti langka banget,” aku menerangkan panjang lebar.
“Karena pasar musik jaman sekarang sudah sulit menerima kata-kata puitis,” Gema menanggapi.
“Otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis ya?” kataku sambil nyengir.
“Ahaha. Kesimpulannya sadis amat,” Gema tertawa geli, membuahkan kerutan heran di dahiku. “Heh? Kamu bisa ketawa juga ya?” tanyaku refleks.
“Sialan lo!” pemuda itu langsung cemberut, yang justru malah menciptakan cengiran di wajahku.
Satu lagu baru terdengar dari permainan gitar Gema. Nada yang asing sama sekali di telinga. Halus, mengalir, tapi entah mengapa terasa sendu. Dan berhasil membuatku terdiam sepanjang permainannya.
“Lagu siapa?” tanyaku pelan saat petikannya berakhir.
“Lagu iseng-iseng aja,” katanya.
“Heh? Seriously? Lagu kayak gini dibilang iseng, gimana seriusnya?” aku menatap Gema tak percaya, sementara pemuda itu hanya tersenyum dan dengan tenangnya meletakkan gitar di samping meja. “Liriknya udah ada?” tanyaku lagi.
“Masih coret-coret aja,” dia menanggapi. “Masih mencari lirik dan mood yang cocok dengan musiknya.”
Aku menatap pemuda di hadapanku dengan takjub. Gema bukan hanya jago merangkai kata, namun ia juga jenius dalam mencipta nada.
“Gema!” suara seseorang dari belakangku mengalihkan perhatian kami berdua. Tampak Sena tengah berjalan menghampiri sambil tersenyum usil. “Ciee... PDKT sama saudaranya si Cakra nih?” goda Sena.
“Ngarang,” Gema menanggapi singkat, sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah, yang entah mengapa membuatku sedikit kecewa.
“Duh, Gema, dingin banget sih lo. Kapan punya pacar kalau begini terus. Itu cewek-cewek pada ngantri nggak ada satupun yang bikin lo tertarik ya?” Sena menarik satu kursi di dekatku. “Gue sampai curiga jangan-jangan dia ini gay,” Sena berbisik padaku, namun dengan volume suara yang masih dapat terdengar oleh Gema.
“Sialan otak lo!” Gema menyodok dahi Sena dengan batang pensil.
“Gema kan pujangga cinta, pastinya banyak banget cewek-cewek yang melting habis baca kata-kata cintanya dia,” aku menanggapi, lagi-lagi terkejut dengan sepercik rasa kecewa yang terlahir di hati.
“Ahaha. Dia nggak ngebolehin siapa pun tahu keahliannya ngegombal kali, Chi,” kata Sena.
“Lho, memangnya kenapa? Itu kan keren banget,” aku protes.
“Kan kata kamu juga, otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis,” Gema nyengir.
“Terus, kemarin kenapa kamu ngebolehin aku ngeliat isi tulisan-tulisan kamu?”
“Nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa kalau otak kamu tuh otak jadul,” kata Gema sambil mengangkat bahu. Ekspresi wajahnya yang datar saat mengucapkan kalimat itu melahirkan sebuah cubitanku di lengan atasnya.
“Kamu tuh tulisan doang yang manis, kalau ngomong nggak manis sama sekali,” aku mencibir saat Gema protes kesakitan.
“Biarin,” Gema kembali fokus dengan kertas-kertasnya.
“Eh, Cakra ke mana? Bukannya tadi ngilang sama kamu?” kualihkan perhatianku pada Sena.
“Lagi nyiapin peralatan sama Diandra di loker karyawan.”
“Rhea mana? Nggak ikut nonton kamu latihan?”
“Diculik sama nyokapnya, nggak tahu deh mau ngapain. Mau dijodohin lagi kali, untuk yang kesekian kalinya.”
“Lha, nyokapnya emang nggak tahu kalau kalian pacaran?”
“Nggak. Kata Rhea justru bahaya kalau tahu, bisa-bisa besok gue disuruh ngapel malam mingguan, terus besoknya disuruh lamaran. Please deh, gue kan masih kuliah. Rhea juga baru mau meniti karir.”
“Nyokapnya se-drama itu ya?” aku menatap Sena takjub. Pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Ahaha, perjuanganmu tampaknya bakalan sulit, nak,” kutepuk bahu Sena sambil terkikik geli.
“Semoga meluruh seiring waktu, Chi,” kata Sena serius. Tiba-tiba terdengar Gema tertawa pelan. “Hujan badai nih nanti malam, denger lo mendadak ngomong puitis,” katanya.
“Dih, emang lo doang yang boleh puitis,” Sena menoleh ketika Cakra memanggilnya dari stage. “Yuk start latihan ah, biar nggak kemaleman selesainya,” Sena beranjak dari kursi. Sedetik kemudian Gema mengikuti, meninggalkan kertas-kertasnya begitu saja di atas meja.
Segores rasa penasaran membuatku bergeser untuk melirik hasil tulisan tangan Gema yang tak beraturan.

Rindu, aku ingin menggapainya... Menyentuh satu hati yang tengah dinanti... Mendengar satu lirik yang telah kuasai mimpi... Bahwa cinta ini tak lagi sendiri...
Satu doa yang selalu terucap pada langit... Ingin miliki dirinya dalam hari...

Dan saat aku selesai membaca tulisannya, saat itu juga aku menyesal. Damn, how could I fall to a guy’s sweet words. To his sweet words.


* * * * *



No comments:

Post a Comment