Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday, 17 August 2013

Peppermint Message - Chapter 1






“Met siang!” aku melangkah ke arah dapur. “Sorry telat, dosen pembimbing bermasalah lagi. Janjian jam 9 baru nongol sejam kemudian,” sambungku.
“Nih, bikin peppermint tea,” Angga melemparkan apron Rendez-Vous padaku, kemudian sibuk menata piring-piring selanjutnya.
“Whoa, sibuk sekali ya hari ini, sampai kalian nggak ada basa-basi,” aku menanggapi, lalu segera mengambil gelas melihat Ethan melotot ke arahku. “Hey, seriusan nih aku yang bikin peppermint tea?” tanyaku pada Ethan yang sibuk berkutat dengan coffee machine-nya.
“Iya, udah tahu kan bahannya apa saja. Tea bags, mint leaves, honey, lemon juice,” Ethan menjelaskan cepat sambil membawa gelas-gelas pesanan keluar dapur untuk menyerahkannya pada waiter.
Aku baru bekerja part-time di Rendez-Vous selama 4 bulan, seringnya hanya sebagai waiter yang bertugas menulis pesanan dan mengantarkannya ke meja costumer, atau sesekali membantu Yoga di bagian cashier. Baru 2 minggu ini aku belajar menyeduh teh dari Ethan. Awalnya hanya black tea biasa, lalu meningkat menjadi berbagai variasi teh seperti peppermint tea, ginger tea, dan mojito.
“Meja berapa sih?” tanyaku.
“Meja 15. Sini, biar aku yang antar. Kamu bantu Anton saja,” Angga mengambil baki dan mulai menata gelas-gelas di atasnya. Aku melipir ke dekat Anton, menaruh garnish pada piring berisi tuna fusilli dan menyiapkan fresh garden salad.
“Ini meja berapa?” tanyaku lagi.
“Meja 15 juga,” kata Anton singkat. Aku menunggu Angga kembali namun pemuda itu langsung sibuk ketika beberapa pengunjung memasuki coffee shop. “Aku yang antar ya?” aku memberitahu Anton dan melangkah keluar dapur. Namun tak lama Angga kembali dan mengambil alih baki pesanan dari tanganku. “Hari apa sih ini? Tumben Rendez-Vous penuh banget,” pemuda itu mengomel pelan sebelum berlalu.
Aku mengedarkan pandangan ke seisi coffee shop dan setuju dengan komentar Angga. Jam baru menunjukkan pukul 11 siang, namun hampir 80% meja terisi costumer, dan mengingat hari ini adalah hari Rabu, cukup takjub juga melihatnya.
Tatapanku kemudian jatuh pada seorang gadis di meja 15 yang tengah menyeruput segelas tea dengan irisan lemon di tepian gelasnya. Ha, itu peppermint tea racikanku. Aku memperhatikannya sekedar untuk mengetahui bagaimana reaksinya, dan cukup terkejut melihat gadis itu mengerutkan keningnya sambil menatap isi gelas tersebut beberapa saat.
“Hey, Ethan,” aku segera berlari kembali ke dapur, sekaligus membawa order yang diberikan Angga kepadaku. “Mengenai resep peppermint tea yang tadi kubuat, apa sudah benar?” Dan aku menyebutkan satu persatu bahan yang kugunakan beserta takarannya. Ethan mengangguk membenarkan, yang membuatku terdiam. Lalu, mengapa gadis itu mengerutkan keningnya?
“Memangnya kenapa, Ri?” Ethan bertanya ketika melihat reaksiku.
“Nggak ada apa-apa kok. Nih, ada order baru dari Angga, apa yang bisa aku bantu?”

* * * * *

Hari ini gadis peppermint tea itu muncul lagi bersama ketiga temannya, dan kali ini peppermint tea yang diantarkan adalah racikannya Ethan – berhubung coffee shop sedang sepi siang ini. Aku tergoda untuk mengetahui reaksinya, sehingga sengaja aku berdiam di dekat Yoga, membantunya merapikan berkas pembukuan akhir bulan. Kuperhatikan gadis itu ketika ia mulai menyeruput minumannya, ia terdiam sesaat, namun kemudian kembali bergabung dengan percakapan teman-temannya.
What? Different respond?” bisikku tak percaya. Aku kembali ke dapur, menuangkan secangkir kecil peppermint tea racikan Ethan dan membuat segelas peppermint tea – sesuai yang kubuat beberapa hari yang lalu, lalu membandingkannya. Rasanya sama kok, batinku.
“Kenapa, Ri?” Ethan menghampiriku yang tengah termenung sambil menatap kedua gelas bergantian. “Hey, would you like to try these and tell me the differences of them?” tanyaku pada Ethan.
Ethan mencoba dan mengerutkan keningnya, “Sama kok rasanya. Memangnya ada apa? Ada yang complaint?”
“Nggak kok, nggak ada complaint apa-apa. Hey, berarti aku sudah lulus buat bikin peppermint tea ya?” kataku sambil nyengir. “Kalau belum lulus, aku tak akan membiarkanmu membuatnya beberapa hari yang lalu, tahu,” Ethan mendorong kepalaku pelan dengan tangannya. “Sana jaga di cashier, biar Yoga bisa fokus ngerjain laporan,” sambungnya lagi.
“Lalu, kenapa reaksinya berbeda saat meminum racikanku dan racikannya Ethan?” gumamku.


* * * * *



No comments:

Post a Comment