“Met siang!” aku melangkah ke arah dapur. “Sorry telat, dosen pembimbing bermasalah
lagi. Janjian jam 9 baru nongol sejam kemudian,” sambungku.
“Nih, bikin peppermint
tea,” Angga melemparkan apron Rendez-Vous
padaku, kemudian sibuk menata piring-piring selanjutnya.
“Whoa, sibuk sekali ya hari ini, sampai kalian
nggak ada basa-basi,” aku menanggapi, lalu segera mengambil gelas melihat Ethan
melotot ke arahku. “Hey, seriusan nih aku yang bikin peppermint tea?” tanyaku pada Ethan yang sibuk berkutat dengan coffee machine-nya.
“Iya, udah tahu kan bahannya apa saja. Tea bags, mint leaves, honey, lemon juice,” Ethan menjelaskan cepat
sambil membawa gelas-gelas pesanan keluar dapur untuk menyerahkannya pada waiter.
Aku baru bekerja part-time di Rendez-Vous
selama 4 bulan, seringnya hanya sebagai waiter
yang bertugas menulis pesanan dan mengantarkannya ke meja costumer, atau sesekali membantu Yoga di bagian cashier. Baru 2 minggu ini aku belajar
menyeduh teh dari Ethan. Awalnya hanya black
tea biasa, lalu meningkat menjadi berbagai variasi teh seperti peppermint tea, ginger tea, dan mojito.
“Meja berapa sih?” tanyaku.
“Meja 15. Sini, biar aku yang antar. Kamu bantu
Anton saja,” Angga mengambil baki dan mulai menata gelas-gelas di atasnya. Aku
melipir ke dekat Anton, menaruh garnish
pada piring berisi tuna fusilli dan
menyiapkan fresh garden salad.
“Ini meja berapa?” tanyaku lagi.
“Meja 15 juga,” kata Anton singkat. Aku menunggu
Angga kembali namun pemuda itu langsung sibuk ketika beberapa pengunjung
memasuki coffee shop. “Aku yang antar
ya?” aku memberitahu Anton dan melangkah keluar dapur. Namun tak lama Angga
kembali dan mengambil alih baki pesanan dari tanganku. “Hari apa sih ini?
Tumben Rendez-Vous penuh banget,”
pemuda itu mengomel pelan sebelum berlalu.
Aku mengedarkan pandangan ke seisi coffee shop dan setuju dengan komentar
Angga. Jam baru menunjukkan pukul 11 siang, namun hampir 80% meja terisi costumer, dan mengingat hari ini adalah
hari Rabu, cukup takjub juga melihatnya.
Tatapanku kemudian jatuh pada seorang gadis di
meja 15 yang tengah menyeruput segelas tea
dengan irisan lemon di tepian gelasnya. Ha, itu peppermint tea racikanku. Aku memperhatikannya sekedar untuk
mengetahui bagaimana reaksinya, dan cukup terkejut melihat gadis itu mengerutkan
keningnya sambil menatap isi gelas tersebut beberapa saat.
“Hey, Ethan,” aku segera berlari kembali ke dapur,
sekaligus membawa order yang
diberikan Angga kepadaku. “Mengenai resep peppermint
tea yang tadi kubuat, apa sudah benar?” Dan aku menyebutkan satu persatu
bahan yang kugunakan beserta takarannya. Ethan mengangguk membenarkan, yang
membuatku terdiam. Lalu, mengapa gadis itu mengerutkan keningnya?
“Memangnya kenapa, Ri?” Ethan bertanya ketika
melihat reaksiku.
“Nggak ada apa-apa kok. Nih, ada order baru dari Angga, apa yang bisa aku
bantu?”
* * * * *
Hari ini gadis peppermint
tea itu muncul lagi bersama ketiga temannya, dan kali ini peppermint tea yang diantarkan adalah
racikannya Ethan – berhubung coffee shop
sedang sepi siang ini. Aku tergoda untuk mengetahui reaksinya, sehingga sengaja
aku berdiam di dekat Yoga, membantunya merapikan berkas pembukuan akhir bulan.
Kuperhatikan gadis itu ketika ia mulai menyeruput minumannya, ia terdiam
sesaat, namun kemudian kembali bergabung dengan percakapan teman-temannya.
“What? Different respond?” bisikku tak percaya.
Aku kembali ke dapur, menuangkan secangkir kecil peppermint tea racikan Ethan dan membuat segelas peppermint tea – sesuai yang kubuat
beberapa hari yang lalu, lalu membandingkannya. Rasanya sama kok, batinku.
“Kenapa, Ri?” Ethan menghampiriku yang tengah
termenung sambil menatap kedua gelas bergantian. “Hey, would you like to try these and tell me the differences of them?”
tanyaku pada Ethan.
Ethan mencoba dan mengerutkan keningnya, “Sama kok
rasanya. Memangnya ada apa? Ada yang complaint?”
“Nggak kok, nggak ada complaint apa-apa. Hey, berarti aku sudah lulus buat bikin peppermint tea ya?” kataku sambil
nyengir. “Kalau belum lulus, aku tak akan membiarkanmu membuatnya beberapa hari
yang lalu, tahu,” Ethan mendorong kepalaku pelan dengan tangannya. “Sana jaga
di cashier, biar Yoga bisa fokus
ngerjain laporan,” sambungnya lagi.
“Lalu, kenapa reaksinya berbeda saat meminum
racikanku dan racikannya Ethan?” gumamku.
* * * * *
No comments:
Post a Comment