“Chi, ayo dong, temenin aku gladi bersih buat
acara besok,” Cakra menghadang begitu aku keluar dari kelas British Literature.
“Aku kan udah bilang aku nggak bisa ke Rendez-Vous
hari ini, masih ada paper yang harus
aku selesaikan,” aku mengelak.
“Alasan yang sama yang kamu kasih sejak 3 hari
lalu,” kata Cakra.
“Emang paper
bisa kelar dalam waktu 1 hari?!”
“Chi, ada apa sih? Kalau ada masalah bilang dong
sama aku. Kamu tiba-tiba nggak mau datang ke Rendez-Vous sama sekali. Anak-anak
nanyain kamu, Rhea nanyain kamu, even
Gema juga nyariin.”
Aku langsung terdiam mendengar ucapan Cakra,
mendengar satu nama terucap dari bibirnya. Gema. Cowok dengan kata-kata manis
yang entah mengapa malah menghantui malamku. Memenjarakan pikiranku dengan
pertanyaan siapa gadis beruntung yang membuatnya mampu ciptakan kata-kata indah
itu. Siapa kelak gadis beruntung yang akan mampu miliki hatinya.
Aku menghela nafas panjang dan menggeleng pelan. You’re
falling too fast, Cianti!
“Oke deh kalau kamu hari ini nggak bisa datang ke
Rendez-Vous. Tapi kamu besok harus datang ya? Aku perform mulai jam 2 siang. Please,
please, spare your time for just tomorrow,” Cakra menepuk kepalaku pelan, kemudian
berlalu.
Dan aku berdiri sendiri, hanya dengan dilemma-ku.
* * * * *
Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore saat
kulangkahkan kaki memasuki Rendez-Vous. Sesiangan tadi aku bergulat dengan akal
sehatku, yang memilih untuk mundur dan berlalu. Namun selalu, pada akhirnya
hati yang menguasai.
Kuarahkan pandanganku pada bagian depan coffee shop tempat live music baru saja selesai. “Cianti!” Cakra berlari dari arah
dapur. “Akhirnya datang juga,” sambungnya sambil merangkul bahuku dan
mengarahkanku ke satu meja.
“Sorry
aku nggak bisa nonton perform-nya
kamu,” kataku.
“No big deal.
Aku minta kamu datang bukan untuk itu kok. Walaupun kecewa juga sih, soalnya
aku jadi nggak punya kesempatan buat ngebuktiin betapa kerennya aku,” Cakra
mengibaskan tangannya sok acuh.
“Jadi buat apa?”
“Just
someone desperately want to give you a surprise. Just sit and wait,” Cakra
menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil tersenyum lebar, kemudian menghilang
lagi ke arah dapur.
“Dih, surprise
apaan sih? Ulang tahunku kan masih lama?” gumamku pelan.
Tak lama Ethan – barista Rendez-Vous – meletakkan segelas
hot chocolate dengan foam berbentuk hati terukir di atasnya,
dan bersamanya hadir kartu berwarna hijau. Sebuah tulisan tangan yang kukenal
tergores pada kartu tersebut. Tulisan tangan yang sama yang tergores pada
berlembar-lembar kertas di atas meja Rendez-Vous beberapa hari lalu. Tulisan
tangan milik Gema.
“Bila kau
ada waktu... Tinjaulah batinku... Gelisah dan bermimpi untukmu... Kerap
mengusik kalbu... Setiap senyummu... Melambungkan asa tuk merindu...”
Aku menatap ke arah dapur, hanya untuk menemukan
sosok Gema berdiri canggung di depan pintunya. Sena mendorong pelan bahu Gema,
membuat pemuda itu akhirnya melangkah ke arahku.
“Umm.. itu Katon Bagaskara,” katanya pelan setelah
berhenti tepat di samping mejaku.
“I know. I
told you before, didn’t I, that I’m a huge fans of him,” kataku. “Apa
maksudnya ini?”
“Seperti apa yang tertulis di situ. If you don’t mind.”
“Seorang pujangga seperti Gema mengutip kata-kata
Katon Bagaskara? What’s wrong with your
own words?” tanyaku sambil tersenyum. Aku tidak berniat untuk mencela Gema,
hanya penasaran dengan pilihannya. Dan jawabannya berhasil langsung membuatku
terdiam.
“Karena kamu membuat otakku mati rasa.”
No comments:
Post a Comment