Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Sunday, 24 February 2013

Sparkling Blue - Chapter 2





Aku melangkah memasuki Rendez-Vous dengan sebuah textbook tentang PTSD dan laptop di tangan. Cukup terinspirasi oleh cerita Trisa tentang keponakannya, mungkin bisa membuat otakku ‘tergerak’ untuk mengajukan penelitianku mengenai hal itu. Banyak bencana alam dahsyat terjadi di Indonesia, yang dapat memicu lahirnya sindrom PTSD pada beberapa orang, meskipun itu mungkin belum menjadi perhatian penuh pemerintah atau aparat kesehatan di negeri ini.
“Mas, black coffee ya?” aku berkata kepada seorang waiter sebelum duduk di satu meja dekat jendela yang kebetulan kosong sore ini. Kukeluarkan setumpuk kertas buram dari dalam tas sebelum mulai membuka textbook.
Post-Traumatic Stress Disorder atau disingkat sebagai PTSD muncul setelah seseorang mengalami kejadian yang mengancam keselamatannya atau membuatnya merasa tak tertolong. PTSD dapat terjadi pada seseorang yang mengalami bencana alam, yang menyaksikan bencana alam, atau yang menangani masalah terebut setelahnya – seperti petugas emergency atau petugas hukum. Yang membedakan antara PTSD dengan trauma biasa adalah pada seseorang yang mengalami trauma biasa, stres atau respon yang terjadi hanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu, namun kemudian akan berangsur menghilang. Pada penderita PTSD, dalam jangka waktu singkat respon tidak juga menghilang, dan seringkali malah bertambah parah.”
 Aku menurunkan textbook-ku dan melepas kacamata, memandang keluar jendela dimana matahari senja mulai memberi corak oranye pada bangunan kampus. Sekumpulan mahasiswi berpakaian putih-hitam yang berkumpul di satu meja di teras luar Rendez-Vous menarik perhatianku. Ah, I know someone there. The cheerful girl who unexpectedly has a tough soul.
Tanpa sadar mataku terus terkunci pada sosok yang tengah bercanda bersama teman-temannya, sambil sesekali meneguk sparkling water yang tak pernah lepas dari tangan. Ah, so that’s her favorite drink, batinku. Kututup textbook di hadapanku lalu bersandar pada kursi, memilih untuk menatap satu pemandangan indah di sore hariku yang cerah. Memperhatikan ekspresi seriusnya saat menulis sesuatu di agendanya, memperhatikan wajah tertawanya saat tengah bercanda. Dan terutama memperhatikan detak jantungku yang berubah tak berirama saat menatapnya.

* * * * *

“Rama!” Andrew – teman satu angkatanku – memanggil ketika aku setengah berlari menuruni tangga dari lantai 3, tempat ruang dosen berada. “Bagaimana pengajuan judul tugas akhirmu?” tanyanya ketika aku sudh berada di sebelahnya.
Finally, it’s approved,” kataku. Aku akhirnya memutuskan untuk mengajukan penelitian tentang PTSD yang berfokus pada korban bencana gempa bumi. Let’s leave the PTSD for flood victims to Trisa, the one who is so experience in it, thou thanks to her akhirnya aku mendapat judul dan alasan penelitian yang tepat untuk tugas akhirku.
“Hey, Trisa. What’s your plan this afternoon? Mau ikut kami nonton nggak?” suara seseorang – well, lebih tepatnya karena nama seseorang dipanggil – membuatku menoleh ke arah sumber suara di belakangku.
Ah, it’s lovely when ospek time is over. Mahasiswi baru dengan gayanya mereka masing-masing cukup untuk menghibur mata dan otak yang kelelahan akibat memikirkan tugas akhir,” Andrew menatap ke arah yang sama denganku. I can’t more agree with him, terutama saat melihat Trisa dengan rok putih dan polo-shirt hijaunya. Ah, she’s so charming.
Sorry, girls. Won’t join you today. Aku mau mendinginkan otakku di Rendez-Vous saja ah. Still have a project to be done,” gadis itu melambaikan sebuah novel tebal sambil tertawa. Lalu pamit dan menghilang dari gedung perkuliahan, ke satu arah yang aku kenal dengan baik.
Hey, if you like her, go get her, Ram. Kau tahu kan banyak serigala lapar di Psikologi ini, terutama saat tahun ajaran baru seperti sekarang,” Andrew menepuk pundakku. “I know what’s on your mind. I’ve been your friend for 4 years, if you don’t remember,” sambungnya lagi, yang membuatku nyengir lebar.

* * * * *

Sore itu langit cukup berawan, ketika Rama berjalan perlahan melintasi Rendez-Vous. Gadis dengan polo-shirt hijau itu tengah duduk di satu meja di teras luar coffee shop, dengan novel di tangan dan segelas sparkling water di hadapan, tak tersentuh oleh bisingnya kegiatan mahasiswa di sekitar atau oleh dirinya yang melangkah mendekat. Dia baru mengangkat wajah ketika Rama menyapa, dan seketika itu senyum manisnya pun terlahir.
“Ah, kak Rama. Apa kabar?”










No comments:

Post a Comment