Aku melangkah memasuki Rendez-Vous dengan sebuah textbook tentang PTSD dan laptop di
tangan. Cukup terinspirasi oleh cerita Trisa tentang keponakannya, mungkin bisa
membuat otakku ‘tergerak’ untuk mengajukan penelitianku mengenai hal itu.
Banyak bencana alam dahsyat terjadi di Indonesia, yang dapat memicu lahirnya
sindrom PTSD pada beberapa orang, meskipun itu mungkin belum menjadi perhatian
penuh pemerintah atau aparat kesehatan di negeri ini.
“Mas, black
coffee ya?” aku berkata kepada seorang waiter sebelum duduk di satu meja dekat
jendela yang kebetulan kosong sore ini. Kukeluarkan setumpuk kertas buram dari
dalam tas sebelum mulai membuka textbook.
“Post-Traumatic
Stress Disorder atau disingkat sebagai PTSD muncul setelah seseorang
mengalami kejadian yang mengancam keselamatannya atau membuatnya merasa tak
tertolong. PTSD dapat terjadi pada seseorang yang mengalami bencana alam, yang
menyaksikan bencana alam, atau yang menangani masalah terebut setelahnya –
seperti petugas emergency atau
petugas hukum. Yang membedakan antara PTSD dengan trauma biasa adalah pada
seseorang yang mengalami trauma biasa, stres atau respon yang terjadi hanya
berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu, namun kemudian akan berangsur
menghilang. Pada penderita PTSD, dalam jangka waktu singkat respon tidak juga
menghilang, dan seringkali malah bertambah parah.”
Aku
menurunkan textbook-ku dan melepas
kacamata, memandang keluar jendela dimana matahari senja mulai memberi corak
oranye pada bangunan kampus. Sekumpulan mahasiswi berpakaian putih-hitam yang berkumpul
di satu meja di teras luar Rendez-Vous menarik perhatianku. Ah, I know someone there. The cheerful girl
who unexpectedly has a tough soul.
Tanpa sadar mataku terus terkunci pada sosok yang
tengah bercanda bersama teman-temannya, sambil sesekali meneguk sparkling water yang tak pernah lepas
dari tangan. Ah, so that’s her favorite
drink, batinku. Kututup textbook
di hadapanku lalu bersandar pada kursi, memilih untuk menatap satu pemandangan
indah di sore hariku yang cerah. Memperhatikan ekspresi seriusnya saat menulis
sesuatu di agendanya, memperhatikan wajah tertawanya saat tengah bercanda. Dan
terutama memperhatikan detak jantungku yang berubah tak berirama saat
menatapnya.
* * * * *
“Rama!” Andrew – teman satu angkatanku – memanggil
ketika aku setengah berlari menuruni tangga dari lantai 3, tempat ruang dosen
berada. “Bagaimana pengajuan judul tugas akhirmu?” tanyanya ketika aku sudh
berada di sebelahnya.
“Finally,
it’s approved,” kataku. Aku akhirnya memutuskan untuk mengajukan penelitian
tentang PTSD yang berfokus pada korban bencana gempa bumi. Let’s leave the PTSD for flood victims to Trisa, the one who is so
experience in it, thou thanks to her akhirnya aku mendapat judul dan alasan
penelitian yang tepat untuk tugas akhirku.
“Hey, Trisa. What’s
your plan this afternoon? Mau ikut kami nonton nggak?” suara seseorang – well, lebih tepatnya karena nama
seseorang dipanggil – membuatku menoleh ke arah sumber suara di belakangku.
“Ah, it’s
lovely when ospek time is over.
Mahasiswi baru dengan gayanya mereka masing-masing cukup untuk menghibur mata
dan otak yang kelelahan akibat memikirkan tugas akhir,” Andrew menatap ke arah
yang sama denganku. I can’t more agree
with him, terutama saat melihat Trisa dengan rok putih dan polo-shirt hijaunya. Ah, she’s so charming.
“Sorry,
girls. Won’t join you today. Aku mau mendinginkan otakku di Rendez-Vous
saja ah. Still have a project to be done,”
gadis itu melambaikan sebuah novel tebal sambil tertawa. Lalu pamit dan
menghilang dari gedung perkuliahan, ke satu arah yang aku kenal dengan baik.
“Hey, if you
like her, go get her, Ram. Kau tahu kan banyak serigala lapar di Psikologi
ini, terutama saat tahun ajaran baru seperti sekarang,” Andrew menepuk
pundakku. “I know what’s on your mind.
I’ve been your friend for 4 years, if you don’t remember,” sambungnya lagi,
yang membuatku nyengir lebar.
* * * * *
Sore itu langit cukup berawan, ketika Rama
berjalan perlahan melintasi Rendez-Vous. Gadis dengan polo-shirt hijau itu tengah duduk di satu meja di teras luar coffee shop, dengan novel di tangan dan
segelas sparkling water di hadapan,
tak tersentuh oleh bisingnya kegiatan mahasiswa di sekitar atau oleh dirinya
yang melangkah mendekat. Dia baru mengangkat wajah ketika Rama menyapa, dan
seketika itu senyum manisnya pun terlahir.
“Ah, kak Rama. Apa kabar?”
No comments:
Post a Comment