“Ethan, table
10, dua frozen choco-oreo, satu lemon squash, dan satu peppermint tea!” Catrina – salah satu waitress part time, berteriak di pintu dapur. Aku berlari ke arah pintu
untuk mengintip isi coffee shop. Aha,
itu gadis peppermint tea. Dan
tiba-tiba aku tergoda untuk melakukan penelitian kecil.
“Ethan, aku yang meracik peppermint tea ya?” kataku.
“Oke. Nih, tangkap,” Ethan melempar kotak tea bags ke arahku dan menyibukkan
dirinya dengan slush machine. “Tumben
ni anak inisiatif duluan, biasanya kalau udah kepepet baru mau ngebantuin,” komentar
Anton dari balik oven.
“Hey, aku udah dapat sertifikat lulus dari Ethan
untuk meracik peppermint tea, jadi
boleh dong langsung dipraktekkan,” aku menanggapi sambil nyengir.
Sepuluh menit kemudian Catrina masuk ke dapur
untuk mengambil pesanan, sekaligus menyerahkan order makanan pada Anton. Aku berjingkat ke arah cashier, sehingga dapat mengamatinya
lebih jelas.
“Hey, Ri, ngapain di sini?” tanya Yoga heran.
“Mau belajar bikin laporan dong, boleh nggak? Jadi
kalau akhir bulan nanti aku bisa bantuin kamu juga,” aku memberi alasan,
sementara pandangan mataku terus tertuju pada meja nomor 10.
“Ehm, mau belajar bikin laporan atau mau
memperhatikan seseorang?” ucapan Yoga membuatku segera mengalihkan perhatian ke
arahnya, yang balik menatapku sambil tersenyum. “Udah, nggak usah pake alasan
basi segala. Kamu jagain kasir aja kalau gitu, biar aku yang bertugas di
belakang bantuin Anton,” pemuda itu menepuk bahuku, senyumnya tak juga
berhenti, malah semakin lebar. “Sekalian ngegosip,” sambungnya.
Aku melangkah menuju cash machine, sesekali melirik ke meja 10, melirik ke satu gadis
yang selama seminggu ini reaksinya terus menghantui pikiranku. Aku bukannya
tipe orang yang terlalu memperdulikan pendapat orang lain, but since Ethan himself said that my peppermint tea has a same taste
with his, lalu kenapa gadis itu bereaksi berbeda?
Tubuhku menegang ketika melihat gadis itu
menyeruput tehnya. Oh, God, please, tell
me that I just overreacts over small thing, that I just misread her respond,
that her respond had no connection with my tea, that...
Dan rangkaian doaku terhenti ketika gadis itu
kembali mengerutkan keningnya. Ia menatap isi gelasnya, kemudian menyeruputnya
sekali lagi, dan terdiam. Seorang temannya menoleh ke arahnya, mungkin
menanyakan sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun gadis itu hanya menggeleng
dan tersenyum manis, kemudian mereka berempat pun kembali tenggelam dalam
sebuah percakapan.
Dan aku hanya mampu mencaci dalam hati. Mencaci
rasa penasaranku, mencaci penelitian kecilku, dan mencaci rangkaian doaku yang
tak terkabul.
* * * * *
“Hey, Rion, bisa overtime sore ini? Angga mendadak nggak bisa masuk kerja karena ada
kelas tambahan,” Mr. Ardian – manajer Rendez-Vous
– menghampiriku yang sedang serah terima tugas dengan Yoga. Hari ini Yoga
memang bertugas di sore hari, sehingga sesiangan tadi aku yang berjaga di meja cashier.
Aku baru saja hendak menolak tawaran Mr. Ardian –
mengingat setumpuk paper yang harus
dikerjakan malam ini – ketika gadis peppermint
tea itu melangkah masuk, sendirian. “Ah, aku bisa kok, Mr. Ardian. Tapi
akhir tahun ini bonusku besar ya?” aku mengencangkan tali apron-ku yang sudah
setengah terbuka, lalu tertawa ketika Mr. Ardian memukul bahuku pelan dengan
organizer-nya.
Kulangkahkan kakiku ke dapur, dan lima menit
kemudian Yoga datang membawa order
yang sudah kutunggu – peppermint tea,
bersama dengan chicken garden salad.
“Kamu yang mau meracik pepermint tea-nya?”
Ethan melangkah ke sampingku.
“Yap. Boleh kan?” tanyaku.
“Dengan senang hati. Sering-sering aja seperti
itu, meringankan tugasku,” Ethan menanggapi sambil tertawa, membuahkan cibiran
dariku. Tak lama Naia – waitress jaga
sore itu – datang mengambil minumannya, sementara perlu waktu sepuluh menit
lagi bagi Anton untuk menyelesaikan chicken
garden salad.
Aku melipir ke arah pintu dapur, menanti reaksi
dari gadis peppermint tea itu setelah
menyeruput racikanku. Hmm, dia pasti akan mengerutkan keningnya lagi, dan
menatap ke dalam gelasnya seolah-olah ada yang aneh di dalam sana, mencari
sesuatu yang tidak seharusnya ada, mencari sesuatu yang tidak akan ada bila teh
itu diracik oleh Ethan. Aku masih mencari-cari apa yang berbeda dari peppermint tea racikanku dan peppermint tea racikan Ethan, bahkan
memperhatikan langsung ketika Ethan meraciknya, dan aku belum bisa menemukan
dimana letak perbedaannya – sesuatu yang luput dari perhatianku namun langsung
dia sadari kali pertama dia meneguk tehnya.
Gadis itu menutup buku bacaannya ketika Naia
meletakkan peppermint tea. Dia
menghirup aromanya sekejap sebelum mulai menyeruputnya, dan seperti yang
kuduga, sebuah kerutan muncul di keningnya. Gadis itu menyeruputnya sekali
lagi, lalu kembali meneruskan bacaannya sambil tersenyum.
Senyuman yang membuatku terkejut.
Senyuman yang membuatku ingin mengetahui artinya.
Senyuman yang segera membuatku mengambil alih baki
berisi chicken garden salad dari
tangan Yoga dan meluncur ke meja tempat gadis itu berada.
“Selamat sore, mbak. Chicken garden salad-nya,” aku menyapa sambil berusaha menenangkan
detak jantungku sendiri.
“Ah, terima kasih, mas,” gadis itu menggeser peppermint tea-nya. Aku baru saja
membalikkan tubuhku ketika gadis itu kembali bersuara, “Mas, yang ngeracik peppermint tea ada dua orang ya?”
Kuputar kembali tubuhku dan mendapati dia tengah
tersenyum manis ke arahku. “Iya, kok mbak bisa tahu. Memang rasanya beda ya?”
“Yang ngeracik peppermint
tea hari ini siapa?”
“Itu saya yang ngeracik, mbak. Saya baru dua
minggu ini belajar ngeracik dari mas Ethan, jadi maaf kalau rasanya kurang.
Bedanya di mana ya, mbak? Biar nanti saya perbaiki.”
“Aku nggak bisa bilang di mana bedanya sih, mas.
Nggak kentara kok bedanya, tapi terasa aja. Mungkin karena aku udah terbiasa
minum peppermint tea racikannya mas
Ethan kali ya, jadi begitu minum racikan yang lain terasa bedanya. Tapi racikan
yang ini juga enak kok, mas,” sebuah senyum kembali terlahir dari bibirnya.
“Oh ya? Terima kasih buat pendapatnya, mbak,” aku
membalas senyumnya dan mengangguk pelan, kemudian melangkah kembali ke dapur
sambil berusaha terlihat tenang. Baru ketika sampai di sudut dapur, aku
bersandar di dindingnya dan merosot hingga terduduk, lalu menutup wajahku
dengan kedua tangan.
“Ri, ada apa? Gadis itu memangnya tadi bilang
apa?” Yoga segera berlari menghampiriku. “Hey, ada apa memangnya?” Anton
melangkah menghampiriku dan Yoga. “Nggak tahu. Gadis di meja 10 itu tadi bilang
sesuatu sama Rion, aku juga ingin tahu ada apa,” Yoga menepuk kepalaku.
“Dia bilang peppermint
tea-ku enak. Dia langsung tahu itu bukan racikan Ethan karena sebelumnya
dia terbiasa minum peppermint tea-nya
Ethan. Dia bisa ngebedain rasanya, meskipun dia nggak tahu di mana bedanya.
Tapi dia bilang peppermint tea
racikanku juga enak,” aku bergumam panjang-lebar, masih menyembunyikan wajahku
dengan kedua tangan.
“Dih, aku kira ada apa. Rupanya si gila ini lagi
jatuh cinta,” Yoga mendorong pelan kepalaku. “Sudah, bubar semuanya. Kembali
lagi ke meja masing-masing,” Anton menimpali.
“Kalian ini, simpati sedikit kek sama temannya
yang lagi galau,” protesku sambil melempari mereka satu persatu dengan gulungan
kertas yang kutemukan di tempat sampah kering di dekatku. Seisi dapur hanya
menanggapiku dengan tertawa.
Overtime sore itu kuhabiskan dengan membantu Ethan atau
Anton di dapur, entah mengapa aku mendadak tak sanggup melangkahkan kakiku ke
area coffee shop. Meskipun ingin
melihat gadis itu lagi, melihat reaksinya lagi saat menyeruput peppermint tea racikanku, namun rasanya
kejutan hari ini sudah lebih dari cukup atau aku khawatir jantungku akan
berhenti berdetak.
* * * * *
No comments:
Post a Comment