Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday, 17 August 2013

Peppermint Message - Chapter 2





“Ethan, table 10, dua frozen choco-oreo, satu lemon squash, dan satu peppermint tea!” Catrina – salah satu waitress part time, berteriak di pintu dapur. Aku berlari ke arah pintu untuk mengintip isi coffee shop. Aha, itu gadis peppermint tea. Dan tiba-tiba aku tergoda untuk melakukan penelitian kecil.
“Ethan, aku yang meracik peppermint tea ya?” kataku.
“Oke. Nih, tangkap,” Ethan melempar kotak tea bags ke arahku dan menyibukkan dirinya dengan slush machine. “Tumben ni anak inisiatif duluan, biasanya kalau udah kepepet baru mau ngebantuin,” komentar Anton dari balik oven.
“Hey, aku udah dapat sertifikat lulus dari Ethan untuk meracik peppermint tea, jadi boleh dong langsung dipraktekkan,” aku menanggapi sambil nyengir.
Sepuluh menit kemudian Catrina masuk ke dapur untuk mengambil pesanan, sekaligus menyerahkan order makanan pada Anton. Aku berjingkat ke arah cashier, sehingga dapat mengamatinya lebih jelas.
“Hey, Ri, ngapain di sini?” tanya Yoga heran.
“Mau belajar bikin laporan dong, boleh nggak? Jadi kalau akhir bulan nanti aku bisa bantuin kamu juga,” aku memberi alasan, sementara pandangan mataku terus tertuju pada meja nomor 10.
“Ehm, mau belajar bikin laporan atau mau memperhatikan seseorang?” ucapan Yoga membuatku segera mengalihkan perhatian ke arahnya, yang balik menatapku sambil tersenyum. “Udah, nggak usah pake alasan basi segala. Kamu jagain kasir aja kalau gitu, biar aku yang bertugas di belakang bantuin Anton,” pemuda itu menepuk bahuku, senyumnya tak juga berhenti, malah semakin lebar. “Sekalian ngegosip,” sambungnya.
Aku melangkah menuju cash machine, sesekali melirik ke meja 10, melirik ke satu gadis yang selama seminggu ini reaksinya terus menghantui pikiranku. Aku bukannya tipe orang yang terlalu memperdulikan pendapat orang lain, but since Ethan himself said that my peppermint tea has a same taste with his, lalu kenapa gadis itu bereaksi berbeda?
Tubuhku menegang ketika melihat gadis itu menyeruput tehnya. Oh, God, please, tell me that I just overreacts over small thing, that I just misread her respond, that her respond had no connection with my tea, that...
Dan rangkaian doaku terhenti ketika gadis itu kembali mengerutkan keningnya. Ia menatap isi gelasnya, kemudian menyeruputnya sekali lagi, dan terdiam. Seorang temannya menoleh ke arahnya, mungkin menanyakan sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum manis, kemudian mereka berempat pun kembali tenggelam dalam sebuah percakapan.
Dan aku hanya mampu mencaci dalam hati. Mencaci rasa penasaranku, mencaci penelitian kecilku, dan mencaci rangkaian doaku yang tak terkabul.

* * * * *

“Hey, Rion, bisa overtime sore ini? Angga mendadak nggak bisa masuk kerja karena ada kelas tambahan,” Mr. Ardian – manajer Rendez-Vous – menghampiriku yang sedang serah terima tugas dengan Yoga. Hari ini Yoga memang bertugas di sore hari, sehingga sesiangan tadi aku yang berjaga di meja cashier.
Aku baru saja hendak menolak tawaran Mr. Ardian – mengingat setumpuk paper yang harus dikerjakan malam ini – ketika gadis peppermint tea itu melangkah masuk, sendirian. “Ah, aku bisa kok, Mr. Ardian. Tapi akhir tahun ini bonusku besar ya?” aku mengencangkan tali apron-ku yang sudah setengah terbuka, lalu tertawa ketika Mr. Ardian memukul bahuku pelan dengan organizer-nya.
Kulangkahkan kakiku ke dapur, dan lima menit kemudian Yoga datang membawa order yang sudah kutunggu – peppermint tea, bersama dengan chicken garden salad. “Kamu yang mau meracik pepermint tea-nya?” Ethan melangkah ke sampingku.
“Yap. Boleh kan?” tanyaku.
“Dengan senang hati. Sering-sering aja seperti itu, meringankan tugasku,” Ethan menanggapi sambil tertawa, membuahkan cibiran dariku. Tak lama Naia – waitress jaga sore itu – datang mengambil minumannya, sementara perlu waktu sepuluh menit lagi bagi Anton untuk menyelesaikan chicken garden salad.
Aku melipir ke arah pintu dapur, menanti reaksi dari gadis peppermint tea itu setelah menyeruput racikanku. Hmm, dia pasti akan mengerutkan keningnya lagi, dan menatap ke dalam gelasnya seolah-olah ada yang aneh di dalam sana, mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada, mencari sesuatu yang tidak akan ada bila teh itu diracik oleh Ethan. Aku masih mencari-cari apa yang berbeda dari peppermint tea racikanku dan peppermint tea racikan Ethan, bahkan memperhatikan langsung ketika Ethan meraciknya, dan aku belum bisa menemukan dimana letak perbedaannya – sesuatu yang luput dari perhatianku namun langsung dia sadari kali pertama dia meneguk tehnya.
Gadis itu menutup buku bacaannya ketika Naia meletakkan peppermint tea. Dia menghirup aromanya sekejap sebelum mulai menyeruputnya, dan seperti yang kuduga, sebuah kerutan muncul di keningnya. Gadis itu menyeruputnya sekali lagi, lalu kembali meneruskan bacaannya sambil tersenyum.
Senyuman yang membuatku terkejut.
Senyuman yang membuatku ingin mengetahui artinya.
Senyuman yang segera membuatku mengambil alih baki berisi chicken garden salad dari tangan Yoga dan meluncur ke meja tempat gadis itu berada.
“Selamat sore, mbak. Chicken garden salad-nya,” aku menyapa sambil berusaha menenangkan detak jantungku sendiri.
“Ah, terima kasih, mas,” gadis itu menggeser peppermint tea-nya. Aku baru saja membalikkan tubuhku ketika gadis itu kembali bersuara, “Mas, yang ngeracik peppermint tea ada dua orang ya?”
Kuputar kembali tubuhku dan mendapati dia tengah tersenyum manis ke arahku. “Iya, kok mbak bisa tahu. Memang rasanya beda ya?”
“Yang ngeracik peppermint tea hari ini siapa?”
“Itu saya yang ngeracik, mbak. Saya baru dua minggu ini belajar ngeracik dari mas Ethan, jadi maaf kalau rasanya kurang. Bedanya di mana ya, mbak? Biar nanti saya perbaiki.”
“Aku nggak bisa bilang di mana bedanya sih, mas. Nggak kentara kok bedanya, tapi terasa aja. Mungkin karena aku udah terbiasa minum peppermint tea racikannya mas Ethan kali ya, jadi begitu minum racikan yang lain terasa bedanya. Tapi racikan yang ini juga enak kok, mas,” sebuah senyum kembali terlahir dari bibirnya.
“Oh ya? Terima kasih buat pendapatnya, mbak,” aku membalas senyumnya dan mengangguk pelan, kemudian melangkah kembali ke dapur sambil berusaha terlihat tenang. Baru ketika sampai di sudut dapur, aku bersandar di dindingnya dan merosot hingga terduduk, lalu menutup wajahku dengan kedua tangan.
“Ri, ada apa? Gadis itu memangnya tadi bilang apa?” Yoga segera berlari menghampiriku. “Hey, ada apa memangnya?” Anton melangkah menghampiriku dan Yoga. “Nggak tahu. Gadis di meja 10 itu tadi bilang sesuatu sama Rion, aku juga ingin tahu ada apa,” Yoga menepuk kepalaku.
“Dia bilang peppermint tea-ku enak. Dia langsung tahu itu bukan racikan Ethan karena sebelumnya dia terbiasa minum peppermint tea­-nya Ethan. Dia bisa ngebedain rasanya, meskipun dia nggak tahu di mana bedanya. Tapi dia bilang peppermint tea racikanku juga enak,” aku bergumam panjang-lebar, masih menyembunyikan wajahku dengan kedua tangan.
“Dih, aku kira ada apa. Rupanya si gila ini lagi jatuh cinta,” Yoga mendorong pelan kepalaku. “Sudah, bubar semuanya. Kembali lagi ke meja masing-masing,” Anton menimpali.
“Kalian ini, simpati sedikit kek sama temannya yang lagi galau,” protesku sambil melempari mereka satu persatu dengan gulungan kertas yang kutemukan di tempat sampah kering di dekatku. Seisi dapur hanya menanggapiku dengan tertawa.
Overtime sore itu kuhabiskan dengan membantu Ethan atau Anton di dapur, entah mengapa aku mendadak tak sanggup melangkahkan kakiku ke area coffee shop. Meskipun ingin melihat gadis itu lagi, melihat reaksinya lagi saat menyeruput peppermint tea racikanku, namun rasanya kejutan hari ini sudah lebih dari cukup atau aku khawatir jantungku akan berhenti berdetak.


* * * * *


No comments:

Post a Comment