Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..
Showing posts with label peppermint message. Show all posts
Showing posts with label peppermint message. Show all posts

Saturday, 17 August 2013

Peppermint Message - Epilog





Yoga melangkah memasuki locker karyawan untuk menemui Rion yang tengah membereskan barang-barangnya. Jam kerja overtime-nya sudah selesai setengah jam yang lalu, dan Yoga bersyukur masih menemukan pemuda itu di locker.
“Ri, ada sesuatu buatmu,” Yoga mengulurkan sebuah kertas quisioner pada Rion. “Heh, quisioner paper? Memangnya Rendez-Vous sedang menyebarkan ini ya? Kok aku baru tahu?” tanya Rion heran.
Nope, I just found one inside my monthly report book, and took one lil’ initiative, who had thought it would end up good,” Yoga melambai dan menghilang dari ruangan.
Rion melirik selintas kertas di tangannya, berisi nama seorang gadis – Clara Sandryatifa, program studi – Teknik Kimia, nomor handphone, alamat email, beberapa tanda silang dalam kolom sangat setuju-setuju-kurang setuju-tidak setuju-sangat tidak setuju. Namun sebuah tulisan di kolom kritik dan saran – di bagian paling bawah quisioner – menarik perhatian Rion. Kalimat singkat dengan tulisan tangan rapi.

               Mas Rion,
               Peppermint tea-nya beneran enak kok..
              Dan aku lebih suka peppermint tea buatanmu.. :)


Dan Rion segera menyimpan kertas quisioner itu ke dalam saku jaketnya, sambil tersenyum. He'll give her a call tonight, for sure..






Peppermint Message - Chapter 2





“Ethan, table 10, dua frozen choco-oreo, satu lemon squash, dan satu peppermint tea!” Catrina – salah satu waitress part time, berteriak di pintu dapur. Aku berlari ke arah pintu untuk mengintip isi coffee shop. Aha, itu gadis peppermint tea. Dan tiba-tiba aku tergoda untuk melakukan penelitian kecil.
“Ethan, aku yang meracik peppermint tea ya?” kataku.
“Oke. Nih, tangkap,” Ethan melempar kotak tea bags ke arahku dan menyibukkan dirinya dengan slush machine. “Tumben ni anak inisiatif duluan, biasanya kalau udah kepepet baru mau ngebantuin,” komentar Anton dari balik oven.
“Hey, aku udah dapat sertifikat lulus dari Ethan untuk meracik peppermint tea, jadi boleh dong langsung dipraktekkan,” aku menanggapi sambil nyengir.
Sepuluh menit kemudian Catrina masuk ke dapur untuk mengambil pesanan, sekaligus menyerahkan order makanan pada Anton. Aku berjingkat ke arah cashier, sehingga dapat mengamatinya lebih jelas.
“Hey, Ri, ngapain di sini?” tanya Yoga heran.
“Mau belajar bikin laporan dong, boleh nggak? Jadi kalau akhir bulan nanti aku bisa bantuin kamu juga,” aku memberi alasan, sementara pandangan mataku terus tertuju pada meja nomor 10.
“Ehm, mau belajar bikin laporan atau mau memperhatikan seseorang?” ucapan Yoga membuatku segera mengalihkan perhatian ke arahnya, yang balik menatapku sambil tersenyum. “Udah, nggak usah pake alasan basi segala. Kamu jagain kasir aja kalau gitu, biar aku yang bertugas di belakang bantuin Anton,” pemuda itu menepuk bahuku, senyumnya tak juga berhenti, malah semakin lebar. “Sekalian ngegosip,” sambungnya.
Aku melangkah menuju cash machine, sesekali melirik ke meja 10, melirik ke satu gadis yang selama seminggu ini reaksinya terus menghantui pikiranku. Aku bukannya tipe orang yang terlalu memperdulikan pendapat orang lain, but since Ethan himself said that my peppermint tea has a same taste with his, lalu kenapa gadis itu bereaksi berbeda?
Tubuhku menegang ketika melihat gadis itu menyeruput tehnya. Oh, God, please, tell me that I just overreacts over small thing, that I just misread her respond, that her respond had no connection with my tea, that...
Dan rangkaian doaku terhenti ketika gadis itu kembali mengerutkan keningnya. Ia menatap isi gelasnya, kemudian menyeruputnya sekali lagi, dan terdiam. Seorang temannya menoleh ke arahnya, mungkin menanyakan sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum manis, kemudian mereka berempat pun kembali tenggelam dalam sebuah percakapan.
Dan aku hanya mampu mencaci dalam hati. Mencaci rasa penasaranku, mencaci penelitian kecilku, dan mencaci rangkaian doaku yang tak terkabul.

* * * * *

“Hey, Rion, bisa overtime sore ini? Angga mendadak nggak bisa masuk kerja karena ada kelas tambahan,” Mr. Ardian – manajer Rendez-Vous – menghampiriku yang sedang serah terima tugas dengan Yoga. Hari ini Yoga memang bertugas di sore hari, sehingga sesiangan tadi aku yang berjaga di meja cashier.
Aku baru saja hendak menolak tawaran Mr. Ardian – mengingat setumpuk paper yang harus dikerjakan malam ini – ketika gadis peppermint tea itu melangkah masuk, sendirian. “Ah, aku bisa kok, Mr. Ardian. Tapi akhir tahun ini bonusku besar ya?” aku mengencangkan tali apron-ku yang sudah setengah terbuka, lalu tertawa ketika Mr. Ardian memukul bahuku pelan dengan organizer-nya.
Kulangkahkan kakiku ke dapur, dan lima menit kemudian Yoga datang membawa order yang sudah kutunggu – peppermint tea, bersama dengan chicken garden salad. “Kamu yang mau meracik pepermint tea-nya?” Ethan melangkah ke sampingku.
“Yap. Boleh kan?” tanyaku.
“Dengan senang hati. Sering-sering aja seperti itu, meringankan tugasku,” Ethan menanggapi sambil tertawa, membuahkan cibiran dariku. Tak lama Naia – waitress jaga sore itu – datang mengambil minumannya, sementara perlu waktu sepuluh menit lagi bagi Anton untuk menyelesaikan chicken garden salad.
Aku melipir ke arah pintu dapur, menanti reaksi dari gadis peppermint tea itu setelah menyeruput racikanku. Hmm, dia pasti akan mengerutkan keningnya lagi, dan menatap ke dalam gelasnya seolah-olah ada yang aneh di dalam sana, mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada, mencari sesuatu yang tidak akan ada bila teh itu diracik oleh Ethan. Aku masih mencari-cari apa yang berbeda dari peppermint tea racikanku dan peppermint tea racikan Ethan, bahkan memperhatikan langsung ketika Ethan meraciknya, dan aku belum bisa menemukan dimana letak perbedaannya – sesuatu yang luput dari perhatianku namun langsung dia sadari kali pertama dia meneguk tehnya.
Gadis itu menutup buku bacaannya ketika Naia meletakkan peppermint tea. Dia menghirup aromanya sekejap sebelum mulai menyeruputnya, dan seperti yang kuduga, sebuah kerutan muncul di keningnya. Gadis itu menyeruputnya sekali lagi, lalu kembali meneruskan bacaannya sambil tersenyum.
Senyuman yang membuatku terkejut.
Senyuman yang membuatku ingin mengetahui artinya.
Senyuman yang segera membuatku mengambil alih baki berisi chicken garden salad dari tangan Yoga dan meluncur ke meja tempat gadis itu berada.
“Selamat sore, mbak. Chicken garden salad-nya,” aku menyapa sambil berusaha menenangkan detak jantungku sendiri.
“Ah, terima kasih, mas,” gadis itu menggeser peppermint tea-nya. Aku baru saja membalikkan tubuhku ketika gadis itu kembali bersuara, “Mas, yang ngeracik peppermint tea ada dua orang ya?”
Kuputar kembali tubuhku dan mendapati dia tengah tersenyum manis ke arahku. “Iya, kok mbak bisa tahu. Memang rasanya beda ya?”
“Yang ngeracik peppermint tea hari ini siapa?”
“Itu saya yang ngeracik, mbak. Saya baru dua minggu ini belajar ngeracik dari mas Ethan, jadi maaf kalau rasanya kurang. Bedanya di mana ya, mbak? Biar nanti saya perbaiki.”
“Aku nggak bisa bilang di mana bedanya sih, mas. Nggak kentara kok bedanya, tapi terasa aja. Mungkin karena aku udah terbiasa minum peppermint tea racikannya mas Ethan kali ya, jadi begitu minum racikan yang lain terasa bedanya. Tapi racikan yang ini juga enak kok, mas,” sebuah senyum kembali terlahir dari bibirnya.
“Oh ya? Terima kasih buat pendapatnya, mbak,” aku membalas senyumnya dan mengangguk pelan, kemudian melangkah kembali ke dapur sambil berusaha terlihat tenang. Baru ketika sampai di sudut dapur, aku bersandar di dindingnya dan merosot hingga terduduk, lalu menutup wajahku dengan kedua tangan.
“Ri, ada apa? Gadis itu memangnya tadi bilang apa?” Yoga segera berlari menghampiriku. “Hey, ada apa memangnya?” Anton melangkah menghampiriku dan Yoga. “Nggak tahu. Gadis di meja 10 itu tadi bilang sesuatu sama Rion, aku juga ingin tahu ada apa,” Yoga menepuk kepalaku.
“Dia bilang peppermint tea-ku enak. Dia langsung tahu itu bukan racikan Ethan karena sebelumnya dia terbiasa minum peppermint tea­-nya Ethan. Dia bisa ngebedain rasanya, meskipun dia nggak tahu di mana bedanya. Tapi dia bilang peppermint tea racikanku juga enak,” aku bergumam panjang-lebar, masih menyembunyikan wajahku dengan kedua tangan.
“Dih, aku kira ada apa. Rupanya si gila ini lagi jatuh cinta,” Yoga mendorong pelan kepalaku. “Sudah, bubar semuanya. Kembali lagi ke meja masing-masing,” Anton menimpali.
“Kalian ini, simpati sedikit kek sama temannya yang lagi galau,” protesku sambil melempari mereka satu persatu dengan gulungan kertas yang kutemukan di tempat sampah kering di dekatku. Seisi dapur hanya menanggapiku dengan tertawa.
Overtime sore itu kuhabiskan dengan membantu Ethan atau Anton di dapur, entah mengapa aku mendadak tak sanggup melangkahkan kakiku ke area coffee shop. Meskipun ingin melihat gadis itu lagi, melihat reaksinya lagi saat menyeruput peppermint tea racikanku, namun rasanya kejutan hari ini sudah lebih dari cukup atau aku khawatir jantungku akan berhenti berdetak.


* * * * *


Peppermint Message - Chapter 1






“Met siang!” aku melangkah ke arah dapur. “Sorry telat, dosen pembimbing bermasalah lagi. Janjian jam 9 baru nongol sejam kemudian,” sambungku.
“Nih, bikin peppermint tea,” Angga melemparkan apron Rendez-Vous padaku, kemudian sibuk menata piring-piring selanjutnya.
“Whoa, sibuk sekali ya hari ini, sampai kalian nggak ada basa-basi,” aku menanggapi, lalu segera mengambil gelas melihat Ethan melotot ke arahku. “Hey, seriusan nih aku yang bikin peppermint tea?” tanyaku pada Ethan yang sibuk berkutat dengan coffee machine-nya.
“Iya, udah tahu kan bahannya apa saja. Tea bags, mint leaves, honey, lemon juice,” Ethan menjelaskan cepat sambil membawa gelas-gelas pesanan keluar dapur untuk menyerahkannya pada waiter.
Aku baru bekerja part-time di Rendez-Vous selama 4 bulan, seringnya hanya sebagai waiter yang bertugas menulis pesanan dan mengantarkannya ke meja costumer, atau sesekali membantu Yoga di bagian cashier. Baru 2 minggu ini aku belajar menyeduh teh dari Ethan. Awalnya hanya black tea biasa, lalu meningkat menjadi berbagai variasi teh seperti peppermint tea, ginger tea, dan mojito.
“Meja berapa sih?” tanyaku.
“Meja 15. Sini, biar aku yang antar. Kamu bantu Anton saja,” Angga mengambil baki dan mulai menata gelas-gelas di atasnya. Aku melipir ke dekat Anton, menaruh garnish pada piring berisi tuna fusilli dan menyiapkan fresh garden salad.
“Ini meja berapa?” tanyaku lagi.
“Meja 15 juga,” kata Anton singkat. Aku menunggu Angga kembali namun pemuda itu langsung sibuk ketika beberapa pengunjung memasuki coffee shop. “Aku yang antar ya?” aku memberitahu Anton dan melangkah keluar dapur. Namun tak lama Angga kembali dan mengambil alih baki pesanan dari tanganku. “Hari apa sih ini? Tumben Rendez-Vous penuh banget,” pemuda itu mengomel pelan sebelum berlalu.
Aku mengedarkan pandangan ke seisi coffee shop dan setuju dengan komentar Angga. Jam baru menunjukkan pukul 11 siang, namun hampir 80% meja terisi costumer, dan mengingat hari ini adalah hari Rabu, cukup takjub juga melihatnya.
Tatapanku kemudian jatuh pada seorang gadis di meja 15 yang tengah menyeruput segelas tea dengan irisan lemon di tepian gelasnya. Ha, itu peppermint tea racikanku. Aku memperhatikannya sekedar untuk mengetahui bagaimana reaksinya, dan cukup terkejut melihat gadis itu mengerutkan keningnya sambil menatap isi gelas tersebut beberapa saat.
“Hey, Ethan,” aku segera berlari kembali ke dapur, sekaligus membawa order yang diberikan Angga kepadaku. “Mengenai resep peppermint tea yang tadi kubuat, apa sudah benar?” Dan aku menyebutkan satu persatu bahan yang kugunakan beserta takarannya. Ethan mengangguk membenarkan, yang membuatku terdiam. Lalu, mengapa gadis itu mengerutkan keningnya?
“Memangnya kenapa, Ri?” Ethan bertanya ketika melihat reaksiku.
“Nggak ada apa-apa kok. Nih, ada order baru dari Angga, apa yang bisa aku bantu?”

* * * * *

Hari ini gadis peppermint tea itu muncul lagi bersama ketiga temannya, dan kali ini peppermint tea yang diantarkan adalah racikannya Ethan – berhubung coffee shop sedang sepi siang ini. Aku tergoda untuk mengetahui reaksinya, sehingga sengaja aku berdiam di dekat Yoga, membantunya merapikan berkas pembukuan akhir bulan. Kuperhatikan gadis itu ketika ia mulai menyeruput minumannya, ia terdiam sesaat, namun kemudian kembali bergabung dengan percakapan teman-temannya.
What? Different respond?” bisikku tak percaya. Aku kembali ke dapur, menuangkan secangkir kecil peppermint tea racikan Ethan dan membuat segelas peppermint tea – sesuai yang kubuat beberapa hari yang lalu, lalu membandingkannya. Rasanya sama kok, batinku.
“Kenapa, Ri?” Ethan menghampiriku yang tengah termenung sambil menatap kedua gelas bergantian. “Hey, would you like to try these and tell me the differences of them?” tanyaku pada Ethan.
Ethan mencoba dan mengerutkan keningnya, “Sama kok rasanya. Memangnya ada apa? Ada yang complaint?”
“Nggak kok, nggak ada complaint apa-apa. Hey, berarti aku sudah lulus buat bikin peppermint tea ya?” kataku sambil nyengir. “Kalau belum lulus, aku tak akan membiarkanmu membuatnya beberapa hari yang lalu, tahu,” Ethan mendorong kepalaku pelan dengan tangannya. “Sana jaga di cashier, biar Yoga bisa fokus ngerjain laporan,” sambungnya lagi.
“Lalu, kenapa reaksinya berbeda saat meminum racikanku dan racikannya Ethan?” gumamku.


* * * * *