Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday, 14 June 2014

Sugar Afternoon - Chapter 3





“Hei, Naia, kau kerja sore ini?” Yoga menyapa saat aku memasuki area Rendez-Vous. “Iya, aku tukeran shift sama Carissa,” kataku. “Rendez-Vous rame nggak sih kalau Sabtu malam?”
“Sabtu malam atau malam Minggu?” goda Yoga.
“Lho, emang beda? Bukannya sama aja ya?”
“Beda dong. Sabtu malam itu istilah yang biasanya dipakai kaum jomblo, mungkin sebagai salah satu upaya penyangkalan. Soalnya kalau pake istilah malam minggu, kerasa banget mirisnya jadi jomblo,” penjelasan Yoga berhasil membuahkan cubitan-cubitan kecilku di lengannya. “Idih, kalau protes berarti ngerasa,” sambung Yoga. ”Enak aja. Aku bukan jomblo miris tau. Aku single bahagia,” aku mencibir.
“Mana ada single bahagia tapi tiap kerja sore sibuk ngeliat ke luar jendela sambil manyun.” Ucapan Yoga langsung membuatku terdiam. Kualihkan perhatianku pada setumpuk gummy candies berbentuk beruang di dekat meja kasir. “Eh, Naia, sorry. Aku nggak maksud,” Yoga terlihat salah tingkah.
“Nggak. Nggak apa-apa kok,” aku menggeleng pelan. “Emang segitu kelihatannya ya?”
“Soalnya jarang-jarang wajah kamu gloomy. Biasanya kan haha-hehe gangguin orang sampai bikin sebel,” Yoga menepuk pelan bahuku. “If you have any problem, just tell us. Bukan aku juga nggak apa-apa. They all are so worry about you.”
“Ahaha, bukan masalah besar kok, Ga. Hanya cinta sepihak. Dia datang tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Dan aku ternyata kehilangan.”
“Siapa sih?” Yoga duduk di sebelahku dengan wajah rumpinya. “Yoga rumpi ih!” aku melempar segenggam gummy candies ke arah Yoga sambil tertawa. “Argh! Naia! Ini permen mahal tau!” protes Yoga.
“Bodo!” aku berlari menjauhi Yoga ketika terdengar denting lonceng pintu, menandakan tamu datang. Kuambil setumpuk menu dan bergegas menyambut.
“Selamat sore. Selamat datang di Rendez-Vous,” sapaku pada sekumpulan pemuda. “Untuk berapa orang ya, mas?”
“Eh, kita berapa orang sih?” pemuda paling depan bertanya ke belakangnya.
“Sepuluh orang,” salah satu temannya yang tengah sibuk dengan hp menjawab, lalu mengangkat kepalanya. “Eh? Kok?” wajahnya terlihat terkejut saat melihatku. Ada apa sih? Aku nggak kenal mereka kok, meskipun selintas mereka terasa familiar.
“Ares!” pemuda itu berteriak ke arah luar setelah mampu menangani rasa terkejutnya. Tak lama kemudian seseorang melangkah masuk. Seseorang yang sama sekali tak kuduga.
Sang malaikat senja.
Ia berdiri di hadapanku, dengan ekspresi terkejutnya, dengan wajah kemerahannya, dan dengan keributan teman-temannya. “Hush! Dewasa dong!” dia menegur pelan teman-temannya.
“Ciee, muka lo merah banget, Res!” goda salah satu temannya. “Mbak, tau nggak? Ares ini suka merhatiin kalau mbak lagi duduk di kursi luar Rendez-Vous, tiap kita main sepakbola,” sambungnya padaku, membuahkan pelototan dari Ares.
“Kenalan gih, kesempatan nggak selalu datang dua kali lho!” komentar temannya yang lain, sebelum mereka ‘berinisiatif’ memilih sendiri tempat duduk, dan meninggalkan kami hanya berdua.
“Sorry ya, teman-teman aku. Dih, bocah banget sih!” kata Ares pelan padaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan anggukan, masih mencerna semua informasi yang secara mendadak masuk ke otakku. Setelah beberapa detik hening, kuputuskan untuk menyerahkan buku menu pada teman-temannya ketika tiba-tiba dia bersuara. “Tapi, boleh kenalan? Aku Ares, semester 5 desain produk.”
“Ah, Naia. Sastra Jepang. Semester 5 juga.”

* * * * *

Tuhan, malaikat senja itu ternyata berkenan untuk singgah dalam hati. Ia tak lagi tak bernama. Dan ia kini berada dalam gapaian.







No comments:

Post a Comment