“Hei, Naia, kau kerja sore ini?” Yoga menyapa saat
aku memasuki area Rendez-Vous. “Iya, aku tukeran shift sama Carissa,” kataku. “Rendez-Vous rame nggak sih kalau
Sabtu malam?”
“Sabtu malam atau malam Minggu?” goda Yoga.
“Lho, emang beda? Bukannya sama aja ya?”
“Beda dong. Sabtu malam itu istilah yang biasanya
dipakai kaum jomblo, mungkin sebagai salah satu upaya penyangkalan. Soalnya
kalau pake istilah malam minggu, kerasa banget mirisnya jadi jomblo,”
penjelasan Yoga berhasil membuahkan cubitan-cubitan kecilku di lengannya.
“Idih, kalau protes berarti ngerasa,” sambung Yoga. ”Enak aja. Aku bukan jomblo
miris tau. Aku single bahagia,” aku
mencibir.
“Mana ada single
bahagia tapi tiap kerja sore sibuk ngeliat ke luar jendela sambil manyun.”
Ucapan Yoga langsung membuatku terdiam. Kualihkan perhatianku pada setumpuk gummy candies berbentuk beruang di dekat
meja kasir. “Eh, Naia, sorry. Aku
nggak maksud,” Yoga terlihat salah tingkah.
“Nggak. Nggak apa-apa kok,” aku menggeleng pelan.
“Emang segitu kelihatannya ya?”
“Soalnya jarang-jarang wajah kamu gloomy. Biasanya kan haha-hehe gangguin
orang sampai bikin sebel,” Yoga menepuk pelan bahuku. “If you have any problem, just tell us. Bukan aku juga nggak
apa-apa. They all are so worry about you.”
“Ahaha, bukan masalah besar kok, Ga. Hanya cinta
sepihak. Dia datang tiba-tiba dan menghilang tiba-tiba. Dan aku ternyata
kehilangan.”
“Siapa sih?” Yoga duduk di sebelahku dengan wajah
rumpinya. “Yoga rumpi ih!” aku melempar segenggam gummy candies ke arah Yoga sambil tertawa. “Argh! Naia! Ini permen
mahal tau!” protes Yoga.
“Bodo!” aku berlari menjauhi Yoga ketika terdengar
denting lonceng pintu, menandakan tamu datang. Kuambil setumpuk menu dan bergegas
menyambut.
“Selamat sore. Selamat datang di Rendez-Vous,”
sapaku pada sekumpulan pemuda. “Untuk berapa orang ya, mas?”
“Eh, kita berapa orang sih?” pemuda paling depan
bertanya ke belakangnya.
“Sepuluh orang,” salah satu temannya yang tengah
sibuk dengan hp menjawab, lalu mengangkat kepalanya. “Eh? Kok?” wajahnya
terlihat terkejut saat melihatku. Ada apa sih? Aku nggak kenal mereka kok,
meskipun selintas mereka terasa familiar.
“Ares!” pemuda itu berteriak ke arah luar setelah
mampu menangani rasa terkejutnya. Tak lama kemudian seseorang melangkah masuk.
Seseorang yang sama sekali tak kuduga.
Sang malaikat senja.
Ia berdiri di hadapanku, dengan ekspresi
terkejutnya, dengan wajah kemerahannya, dan dengan keributan teman-temannya.
“Hush! Dewasa dong!” dia menegur pelan teman-temannya.
“Ciee, muka lo merah banget, Res!” goda salah satu
temannya. “Mbak, tau nggak? Ares ini suka merhatiin kalau mbak lagi duduk di
kursi luar Rendez-Vous, tiap kita main sepakbola,” sambungnya padaku,
membuahkan pelototan dari Ares.
“Kenalan gih, kesempatan nggak selalu datang dua
kali lho!” komentar temannya yang lain, sebelum mereka ‘berinisiatif’ memilih
sendiri tempat duduk, dan meninggalkan kami hanya berdua.
“Sorry ya, teman-teman aku. Dih, bocah banget
sih!” kata Ares pelan padaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan anggukan, masih
mencerna semua informasi yang secara mendadak masuk ke otakku. Setelah beberapa
detik hening, kuputuskan untuk menyerahkan buku menu pada teman-temannya ketika
tiba-tiba dia bersuara. “Tapi, boleh kenalan? Aku Ares, semester 5 desain
produk.”
“Ah, Naia. Sastra Jepang. Semester 5 juga.”
* * * * *
Tuhan, malaikat senja itu ternyata berkenan untuk
singgah dalam hati. Ia tak lagi tak bernama. Dan ia kini berada dalam gapaian.
No comments:
Post a Comment