Hari ini
dia tidak ada di lapangan, padahal sang Pencipta telah berbaik hati tak
menurunkan lagi hujan. Permainan sepakbola itu tetap ada, hanya saja bukan dia
yang berdiri menghalang gawang. 30 menit aku menanti, dan harapan itu musnah.
Yang tersisa hanya seribu tanya, ke mana dia ? ada apa dengannya? Mengapa
menghilang? Dan saat seperti inilah aku menyesali diamku, karena pertanyaan itu
takkan menemukan jawabnya.
“Hey, Naia. Ada apa sih dari tadi lihat keluar
jendela terus?” Angga, waiter yang juga bekerja part-time di rendez-Vous, menepuk bahuku. Aku segera mengalihkan
perhatianku sambil tersenyum. Huff, tanpa sadar hati ini terus berharap ada
keajaiban kecil, tiba-tiba menemukannya di tengah lapangan seperti biasa.
“Nggak apa-apa. Cuma khawatir hujan aja, soalnya
aku lupa bawa payung,” elakku.
“Yaelah, khawatir hujan aja mukanya udah kayak
lagi patah hati. Cuma air jatuh dari langit juga,” Angga berkomentar santai
sambil membereskan meja di dekatku.
Kujatuhkan pandanganku sekali lagi ke arah
lapangan, sebelum bergerak menjauh dari jendela dan membantu Angga. “Heh, emang
muka orang lagi patah hati kayak gimana?”
“Ya kayak kamu sekarang. Manyun terus, kusut,
kayak mau nangis.”
“Ngarang ah,” aku menyikut Angga. Iya, Angga pasti
ngarang. Nggak mungkin lah aku patah hati, kenal dia aja nggak. Iya kan?
* * * * *
Rabu, 16
Mei
Where are
you??
Lagi-lagi
seseorang yang lain yang berdiri di gawangnya. Dan lagi-lagi akan kuhabiskan sisa
hari dengan siksaan pertanyaan.
Tuhan,
memang terlarangkah? Sehingga kau ambil dia dari tatapanku?
* * * * *
“Hey, Naia,
can I talk to you for a min?” Carissa menghampiri aku saat aku bersiap-siap
untuk pulang. “Sure. What’s up?”
tanyaku.
“Aku bisa tukeran shift kerja denganmu akhir minggu ini nggak? I have mid-test this Saturday,” kata Carissa.
“No prob.
So, kau akan kerja Jumat sore, dan
aku Sabtu sore?”
“Yup.
Seriously you don’t mind with that?” Carissa memastikan. “Easy, Sa. Aku libur kok hari Sabtu. Dan
mengingat setiap weekend jalanan di
kota kita tercinta selalu macet mampus, aku tak pernah punya rencana apa-apa,”
aku menepuk bahu Carissa.
“Thank you,
Naia,” Carissa memelukku.
Yup. No
prob. Hanya satu kali lagi absen
menatap malaikat senja itu. Toh dia juga mungkin tidak akan pernah lagi muncul
di lapangan itu.
No comments:
Post a Comment