Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Monday, 20 December 2010

Nyanyian Senja - Chapter 5



Namaku Dira, begitu dia memperkenalkan diri, sambil mengulurkan tangannya. Awal kami berkenalan adalah karena hukuman untuk membuat paper setebal gajah gara-gara terlambat datang saat ospek. Dira, aku, dan Listia. Keluar-masuk perpustakaan, browsing internet, ditambah satu minggu kurang tidur demi sebuah tugas, dari situlah embrio sebuah persahabatan mulai terbentuk.
Aku tak tahu banyak tentang Dira, dia layaknya sebuah rumah yang terkunci rapat dan semua orang diperkenankan untuk masuk hanya sampai halaman depan saja. Tapi adu mulut adalah keahliannya, dan dia melakukannya setiap hari dengan Listia, sementara aku selalu berperan sebagai pihak penengah untuk menghentikan keributan yang mereka ciptakan.
Aku tak pernah dekat dengan cowok sebelumnya dan Dira adalah cowok pertama dimana aku bisa menyebutnya sebagai sahabat. Yes, he is my first best guy friend. Dia ada di sampingku saat nilai praktikumku hancur berantakan, dan dia yang terus menyemangatiku ketika Papa dan Mama memutuskan untuk bercerai. Listia juga selalu ada di sampingku, tapi Dira yang tak pernah henti mengirim pesan-pesan singkatnya selama bermalam-malam, sekedar membuatku tertawa dengan lelucon atau komentar lucunya.
Mungkin benar yang orang katakan bahwa cinta datang karena terbiasa. Aku terbiasa menengahi pertengkaran Listia dan Dira, terbiasa dengan sosok Dira yang selalu duduk di sampingku dan bisikan isengnya saat dosen tengah menerangkan, terbiasa dengan pesan singkatnya di malam hari, terbiasa melihatnya menunggu kedatanganku dan Listia di gerbang kampus, terbiasa mendengar rengekannya untuk ditemani sarapan di kantin. Dan saat Dira tiada, rasa terbiasa itu membuatku hampa. Aku bagai raga yang kosong mencoba bertahan menjalani hidup, sementara jiwaku berkelana mencari sosok Dira yang entah berada di mana.
“Dan akhirnya aku tersadar.. persahabatan itu ternyata sudah jauh berubah arah.. setidaknya dari sisi aku..,” aku mengakhiri cerita panjangku pada Pak Anton, keesokkan harinya saat Pak Anton menemaniku sarapan.
“Jadi itu yang membuat Neng Rissa selalu datang ke Pangandaran?”
Aku mengangguk pelan, “Jasadnya tak pernah ditemukan, jauh di sudut hati aku masih berharap bahwa dia masih hidup.”
“Tapi itu sudah setahun berlalu, neng.”
“Aku tahu, Pak. Aku selalu mengulang mantra itu setiap malam, berharap itu bisa membunuh sepercik pun harap yang mencoba lahir kembali. tapi raga ini tak bisa mengerti, langkah ini selalu mengarahkanku ke sini, mata ini selalu mencari gambarannya di manapun berada, telinga ini seolah mendengar desah suaranya di antara desiran angin. Raga ini terlalu mengingatnya, Pak. Dan itu yang menyakitkan.”
“Rissa…” Suara seseorang yang kukenal membuatku berpaling.
“Listia?” aku menatap tak percaya sosok yang kini berdiri di belakangku.
“Jadi.. itu alasannya kamu selalu pergi ke Pangandaran? Selama ini kamu masih mencari sosok Dira?” tanya Listia. Aku menelungkupkan wajahku ke meja, tak bisa berkata apa-apa. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa.
“Rissa, wake up! Sampai kapan kamu mau bermimpi bahwa kemungkinan Dira masih hidup?! Itu sudah setahun yang lalu!!” Listia menguncang bahuku, seolah dengan begitu dia mampu membangunkan aku.
“I’m trying, Lis! Kau pikir aku tak berusaha, apa?! Kau tak mengerti perasaanku, aku benar-benar kehilangan!” aku menepis tangan Listia dan bangkit dari kursi.
“Do you think I’m not? Rissa, aku memang ga jatuh cinta sama Dira, tapi Dira juga sahabatku, as if you forgot already about that,” Listia berkata lirih. “Dan tak lama setelah Dira tiada, sahabatku yang tinggal satu-satunya berubah menjadi seseorang yang tak dapat kukenal, seseorang yang tak dapat aku mengerti lagi. Aku kehilangan dua sahabat sekaligus, Sa. Dan sekarang beritahu aku, di bagian mana aku tak bisa mengerti perasaanmu?” ucapan Listia membuatku tersentak.
“Sorry.. I’m so sorry..,” aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan.
“Kamu harus bangun dan melihat kenyataan, Sa. He’s gone, that’s the fact that we can’t change. Ayolah, aku tak mau bertengkar denganmu. Dira pasti akan langsung menjewer telinga kita kalau dia ada di sini.”
Aku tersenyum tipis, satu lagi kebiasaan Dira yang sulit untuk dilupakan.
“Lalu, kenapa kamu ada di sini?” aku baru tersadar akan kedatangan Listia, seingatku dia tak berniat untuk datang ke Pangandaran.
“Besok tepat satu tahun kita kehilangan Dira. And since his body is somewhere out there, inside the ocean, aku bermaksud untuk melempar buket bunga ke laut.”
“One year passed away so fast..,” aku menatap keluar jendela, siluet lautan tampak di kejauhan.
“Rissa, jangan mulai lagi,” sentuhan lembut Listia di lenganku membuatku mengalihkan pandangan dari jendela. “But still hurt inside, just like the first time,” bisikku.
“Luka itu perlahan akan terobati, dan suatu saat nanti Neng Rissa akan mendatangi Pangandaran dengan tersenyum. Tapi Neng Rissa harus mulai berani melangkah dulu, tidak hanya terdiam seperti saat ini,” kata Pak Anton.
Aku hanya terdiam, pandanganku kembali jatuh pada siluet lautan di luar jendela.


No comments:

Post a Comment