Sore itu langit berawan, saat aku memutuskan untuk kembali ke pantai dan menenggelamkan diri dalam alunan nyanyian ombak ketika senja. Aku berdiam, mata dan hatiku menyusuri luasnya samudera. Mencari seseorang, mencari sepercik gerakan di mana aku bisa serahkan setiap harapku, meski pikiranku terus dan terus menjerit bahwa itu tak mungkin lagi.
Rissa…
Kali ini angin yang membawa desahnya, seiring awan hitam yang berarak mendekat.
*****
Gah, it’s so boring. Huft, seharusnya aku ikut Dira main ke Pangandaran, it would be far far better instead of attending this boring party. Teman-teman Kak Cianti sudah seperti orang gila saja, teriak-teriak karaoke-an nyanyi entah lagu apa.
Mentari senja yang menyinari taman belakang rumah terasa menyilaukan. Aku melintasi ruang kerja Papa untuk mengisi ulang gelasku dengan Coke. Langkahku terhenti ketika TV di kamar Papa menampilkan Headline News tentang kelanjutan gempa dan tsunami. Oh iya, kemarin aku memang mendengar selintas tentang tragedi itu, namun karena sibuknya menyiapkan acara ulang tahun Kak Cianti, berita itu lewat begitu saja.
Pembaca berita di TV mengabarkan berita pencarian orang hilang yang terseret ombak tsunami.
“Masih dilakukan pencarian terhadap tiga orang pemuda yang diduga terseret oleh ombak. Pihak hotel mengatakan mereka terakhir kali terlihat berjalan ke arah pantai untuk menghampiri kapal nelayan penjaring ikan, namun itu tiga jam sebelum tragedi tsunami terjadi. Berikut data tiga orang pemuda yang diduga terseret ombak.”
Gelas kaca yang kupegang meluncur jatuh saat satu wajah yang sangat kukenal tampak di layar TV. Dan sedetik kemudian sekelilingku menjadi gelap. Samar-samar aku mendengar suara Papa yang langsung menghampiriku dari depan TV, sebelum kesunyian menenggelamkanku. Sebuah kata sempat terucap lirih dari bibirku.
“Dira…”
*****
“Neng Rissa?!”
Aku tersentak oleh tepukan lembut di bahu.
“Ya ampun, neng. Bapak kira ga akan bisa nemuin Neng Rissa. Bapak sudah keliling nyari ke mana-mana. Neng Rissa pintar banget cari tempat sembunyi,” aku mendengar nada khawatir sekaligus lega dari suara Pak Anton. “Anginnya kencang sekali, kemungkinan akan ada badai makanya Bapak cari Neng Rissa.”
Aku menatap sekitarku. Masih tampak segaris sisa pertarungan terakhir mentari dan samudera, namun selebihnya hanyalah lukisan kegelapan. Angin mulai menghentak dedaunan kelapa sementara ombak melompat menarikan tarian sukacita kemenangan.
“Neng Rissa?” Pak Anton menatapku cemas, mungkin karena aku tak jua bersuara. "Kita kembali ke hotel ya? Langit sudah gelap, dan gerimis mulai turun,” Pak Anton menepuk bahuku pelan. Perhatian yang mengalir dari suaranya membuat pertahananku akhirnya hancur.
Aku terisak keras, sambil memeluk lengan Pak Anton, membasahi lengan kemeja kerjanya dengan air mata. Tetes demi tetes air mata mengalir bersamaan dengan tangisan langit, bercampur dan pada akhirnya sama-sama bermuara di bumi. Pak Anton hanya menepuk punggungku tanpa kata, mengizinkan hujan dan angin membawa semua duka yang kutumpahkan.
Setelah isakanku mereda, Pak Anton mengajakku untuk kembali. Beliau mengantarkanku sampai depan pintu kamar dan mengusap rambutku pelan, “Neng Rissa, Bapak ga ngerti ada apa, tapi kalau Neng Rissa ada masalah dan butuh teman berbagi, Bapak siap mendengarkan.”
Aku menggeleng pelan, “Saya ga mau merepotkan Bapak.”
“Maaf kalau Bapak lancang, tapi Neng Rissa sudah Bapak anggap putri Bapak sendiri. Bapak sedih ngeliat Neng Rissa selalu melamun, setiap datang ke Pangandaran selalu dengan wajah sedih, seolah kehilangan arah dan kebingungan mencari pegangan agar tetap dapat bertahan. Kalau Neng Rissa sudah siap, cerita sama Bapak ya?”
Nada suara Pak Anton yang sarat perhatian akhirnya membuatku mengangguk pelan. Kuucapkan selamat malam sebelum kutenggelamkan diriku di balik selimut dan berharap mimpi buruk itu, untuk sekali ini saja, tak hadir mencabik jiwaku.
No comments:
Post a Comment