“Rissa.. ayo dong, ikut aku ke pantai ya? Aku mau penelitian nih, tapi kan ga seru kalau hanya pergi sendirian,” Dira duduk di sampingku. Saat itu tengah pergantian mata kuliah dan makhluk satu itu baru saja masuk kelas.
“Apa sih, tiba-tiba ngomong tanpa basa-basi. Bukannya bilang terima kasih karena aku sudah berbaik hati ngabsenin kamu,” kataku tanpa menoleh ke arahnya.
“Iya deh, Rissa sayang, makasih sudah ngabsenin aku. Jadi, kamu ikut ke pantai ya? Jangan nemenin si Listia naik gunung melulu dong.”
“Heh, apa maksudnya tuh?” Listia tiba-tiba muncul di belakang Dira.
“Hyaa.. monyet gunungnya muncul,” Dira melompat berdiri dan berlari menjauh sambil tertawa. “Muhammad Sandira Putra!! Sini kamu kalau berani!!” Listia berlari mengejar Dira.
“Halah, duo berisik kumat lagi,” Putri, yang juga sekelas denganku, berkomentar. “Hebat kamu, Sa, tahan sahabatan dengan mereka berdua,” sambungnya. “Yah, harus ada pihak ketiga yang menetralisir kegilaan mereka kan?” aku tertawa.
“Rissa.. c’mon, join me to the beach. You should see Pangandaran. You can watch sunrise and also sunset from one beach,” Dira sudah kembali dari pelariannya dan meneruskan acara membujukku.
“Kapan?” tanyaku.
“Next week, on Sunday.”
“I can’t. Sunday is my sister’s birthday and I absolutely can’t have another plan,” aku menggeleng lemah. “Kenapa ga ajak sang monyet gunung aja?” aku menggoda Listia yang baru menampakkan dirinya lagi.
“Rissa.. sialan lo..!” Listia menjitak pelan kepalaku, lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelahku.
“Ogah.. repot..!! Di pantai susah cari pisang, banyaknya ikan asin. Kecuali kalau monyet gunungnya suka sama ikan asin,” Dira duduk di sisi lain kursiku. Posisinya selalu seperti ini di setiap kelas, aku di antara Dira dan Listia yang tak pernah berhenti adu mulut dan saling cela.
“Halah, sudah deh kura-kura berisik melulu. Are you done already with that Chemical Analytic homework?” kata Listia.
“Heh? Memangnya Kimia Analisis ada tugas?” Dira menatapku dan Listia tak percaya, membuat kami berdua tertawa. “You always like that, Dir,” aku menggeleng pasrah dan menyerahkan tugasku untuk disalin Dira.
“And you always be my savior, Sa,” Dira nyengir.
*****
Aku tersentak terbangun, sedikit bingung memperkirakan di mana aku berada, sebelum akhirnya aku sadar aku berada di kamar hotel. Kuusap wajahku dan telapak tanganku pun basah oleh air mata. Mimpi itu lagi, desahku. Kupicingkan mata untuk melihat jam digital di meja samping tempat tidur, it still 2 in the morning.
Aku beranjak dari tempat tidur dan menghampiri jendela. Langit kelam bersulamkan ribuan berlian tampak indah menyertai kilau sempurna sang rembulan. Aku meraih handphone-ku dan mengetik sebuah kalimat singkat sebelum kukirimkan pada seseorang yang nomornya masih terukir dengan tegas di ingatanku. Tak ada report, aku kembali mendesah. Selalu seperti ini. Tapi aku tak tahu cara lain yang dapat menghubungkanku dengannya.
“Dira.. aku di sini.. di Pangandaran.. tapi kamu di mana…”
Dan setetes air mata kembali mengalir.
No comments:
Post a Comment