Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Monday, 20 December 2010

Nyanyian Senja - Chapter 2


 
“Pangandaran, Pangandaran!” teriakan supir bus menghentakku dari buaian lamunan panjang. Aku menarik ranselku dan melangkah menuruni bus kecil itu. Huff, akhirnya aku kembali lagi ke sini. Entah sudah yang keberapa kali semenjak kejadian itu.
Penjaga pintu sebuah hotel di sekitar pantai tersenyum saat aku mendekat. “Selamat sore, Neng Rissa. Sudah masuk musim liburan lagi ya?” sapanya sambil mengambil tas ranselku.
“Sore juga, Pak Anton. Hanya liburan singkat selama satu minggu kok, Pak.”
Hotel tempat Pak Anton bekerja adalah hotel kecil langgananku menginap selama pelarianku ke Pangandaran. Karena itu pula akhirnya aku dekat dengan beliau.
Pak Anton menemaniku selama di resepsionis dan mengantarkanku ke kamar, bersikeras membawakan ranselku dengan alasan aku pasti lelah karena telah menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Bandung. Setelah mengucapkan terima kasih, aku melemparkan tubuhku ke atas tempat tidur. Siluet oranye mentari senja menembus melalui jendela kamar, menciptakan permainan warna yang indah namun juga sendu. Hotel tempatku menginap berada di bagian selatan dari pantai Pangandaran, dan kamar tempatku menginap menghadap langsung ke arah matahari terbenam.
Aku bangkit dan menghampiri jendela. Membiarkan cahaya oranye itu menghujani tubuhku. Dan tanpa sadar setetes air mata meluncur menuruni pipi. Disambung dengan tetesan lainnya. Dan berakhir dengan aku terisak sambil menyaksikan bagian terakhir mentari senja ditelan lautan dan melahirkan kegelapan.

*****

Ketukan di pintu membangunkanku. “Neng Rissa, ini Bapak. Neng Rissa mau sarapan di kamar atau di lobby hotel?” suara lembut Pak Anton terdengar dari balik pintu. Aku bangkit perlahan dan merasakan ruangan sekejap berputar, sepertinya tekanan darahku drop. Bantal di sampingku masih terasa lembab, sisa-sisa air mata yang belum diuapkan oleh waktu. Aku tak ingat jam berapa aku tertidur, mungkin ketiduran setelah lelah menguras air mata.
Kurapikan rambutku sambil melangkah menghampiri pintu. “Selamat pagi, Pak Anton. Saya sarapan di lobby saja, tapi mungkin saya baru turun setengah jam lagi,” aku menyapa Pak Anton.
“Selamat pagi juga, Neng Rissa. Kalau begitu Bapak siapkan sarapan Neng Rissa di meja yang biasa ya?” Pak Anton mengangguk pelan sebelum pergi. Aku melihat jam tanganku, jam 8 pagi, pantas saja Pak Anton menanyakan tentang sarapanku.
Setelah sarapan aku memutuskan untuk ke pantai. Setelah berjalan-jalan sejenak menyusuri toko-toko cinderamata, aku terdiam di satu sisi pantai, merasakan  sentuhan hangat pasir-pasir lembut di jari-jari kakiku. Samar-samar terdengar suara tawa anak-anak kecil, suara seorang Ibu memanggil putri kecilnya untuk kembali ke pantai, tawa genit seorang gadis lugu yang berhasil masuk perangkap mulut manis pemuda di sampingnya.
Aku memejamkan mata dan menghirup udara segar yang bercampur dengan aroma asin lautan. Deburan ombak yang tertangkap telinga melahirkan ketenangan batin yang memabukkan, tapi juga sesak yang tak terobati.
Siluet oranye senja kembali memenjarakanku, membuatku tersentak akan betapa cepatnya waktu berlalu. Pantai sudah mulai sepi, hanya beberapa pasangan muda yang memang berniat menikmati matahari terbenam. Lukisan sang surya nan agung yang pasrah ditelan oleh samudera entah mengapa membuatku miris.
Rissa…
Sebuah bisikan halus terdengar dari balik deru ombak. Seolah muncul dari garis antara mentari dan lautan.
Rissa…
Sebuah suara yang pernah membuai telingaku. Dulu.
Rissa…
Sebuah bisikan yang mampu membuat air mataku kembali mengalir.
“Dira.. sorry.. I’m so sorry..,” bisikku di antara isak tangis.
Aku terus terisak, hingga gelap mulai menyelimutiku. Suara ombak perlahan mereda. Tenang. Semilir angin malam yang membelai lembut rambutku membuatku terkesiap. Aku beranjak bangkit dan melangkah kembali menuju hotel. Sudah berapa lama waktu berlalu dari saat matahari terbenam? Semoga belum terlalu terlambat, atau Pak Anton akan panik mencariku keliling pantai.

No comments:

Post a Comment