“Kei.”
Aku menoleh mendengar namaku dipanggil, hanya untuk menemukan satu sosok tak dikenal berdiri canggung di belakangku.
“Ya?” tanyaku bingung.
“Aku mau bicara sesuatu.”
Uh oh, rasanya aku mendeteksi sesuatu yang tak menyenangkan. Apalagi saat kulihat beberapa pemuda bergerombol tak jauh dari kami, tengah asyik berbisik-bisik.
PERNYATAAN CINTA.
Dan seketika alarm di kepalaku berbunyi.
“Um, sorry. Tapi aku dipanggil guru Matematika. Should go there soon. Bye!” aku pun langsung melesat menghindar, lalu menyelinap keluar melalui gerbang belakang sekolah. Damn, I hate that thing. Entah kenapa aku alergi terhadap yang namanya pernyataan cinta. People says it’s romantic, someone saying words like ‘I Love You’ to you. But for me, I prefer someone shows me with his acts rather than just saying it. I don’t need words, just prove me that you like me. Mungkin karena itu teman-teman selalu berkata kalau standarku terlalu tinggi untuk ukuran anak SMA. Well, menurutku standar tidak tergantung pada usia, tapi pada bagaimana kita melihat hidup kita sendiri. Yah, itu menurutku sih..
“Ah, hujan lagi..,” kudongakkan kepalaku kala tetesan air itu membelai pipiku. Cuaca benar-benar tak bisa diduga, dan aku sudah belajar untuk tidak lagi mempercayai ramalan cuaca.
Kubuka payung hijauku di antara langkahku menuju halte bus. Matahari masih di atas, sang malaikat pasti masih sibuk di tempat kerjanya. Dan aku tak punya alasan untuk pulang larut hari ini.
Kumainkan genangan air dengan ujung sepatuku, menyadari ada sepercik sepi kuasai hati. Ah, harusnya tak kupupuk asa ini, agar ia tak berkembang menjadi rasa yang tak kuingini.
* * * * *
Aku berebut memasuki bus, setengah sibuk dengan tas besarku dan payung yang masih terbuka. Duh, aku benci naik bus saat langit masih terang, pasti bus penuh sekali dan aku tak akan dapat tempat duduk.
“Mbak, duduk sini saja,” seseorang menyapa dari sebelahku, membuatku tertegun. Tuhan, aku tahu aku baru saja melarikan diri dari sebuah pernyataan siang ini, aku tahu aku telah menyakiti hati pemuda itu, tapi tolong jangan siksa perasaan aku dengan menurunkan sang malaikat tepat di sebelahku!
“Mbak?” sang malaikat itu memandangku bingung. “Eh, ga usah, Mas. Tampaknya bawaan Mas banyak sekali,” aku menatap satu dus coklat dan plastik hitam besar yang berada di kakinya. “Nanti saya malah merepotkan.”
“Ga apa-apa kok. Barang begini sih bisa digeser,” malaikat itu mulai menggeser dus dengan kakinya. “Eh, Mas, ga usah!” aku buru-buru mencegah. “Gini deh, barang Mas tetep di situ aja, biar aku yang jaga. Mas turun di halte 10 juga kan?” kataku cepat, dan sedetik kemudian aku menyesali ucapan yang keluar dari mulutku. Damn, aku keceplosan.
“Ah, yes. Aku suka melihatmu di halte 10. Sorry, I didn’t realize it before. Ok, deal kalau begitu,” pemuda itu berdiri dan menyerahkan kursinya. “Kalau dipikir-pikir, lucu juga ya kita mempermasalahkan soal kursi,” dia tertawa pelan. Ah, merdu tawanya berhail membuai telingaku.
“Btw, siapa namamu? Kalau boleh aku tahu sih,” katanya lagi, setelah aku duduk tenang.
“Ah, iya. Kita ‘bertengkar’ tanpa saling kenal. Aku Keisa, biasa dipanggil Kei. Namamu?”
“Arya.”
No comments:
Post a Comment