“Argh! Ramalan cuaca bilang sore ini cerah!” aku setengah melompat memasuki halte bus. Hujan turun dengan derasnya, sementara aku tak membawa payung karena dengan polosnya mempercayai ramalan cuaca di berita radio tadi pagi. Huft, syukurlah laporan untuk presentasi besok selamat dalam pelukanku.
Aku menatap sekeliling. Halte tampak sepi mengingat jam yang sudah bergulir melintasi angka 5. Seorang bapak usia baya duduk di salah satu sudut, tenggelam dalam buku bacaannya. Seorang siswi berseragam SMU berada di sebelahnya, asyik dengan i-pod di tangan. Suasana damai Ibukota yang jarang terasa, mengambang membuai lelahku. Kujatuhkan tubuhku di sudut kursi yang lain, mengalirkan ide-ide acak pada notes hp-ku yang nyaris penuh.
Perhatianku teralihkan ketika satu sosok melompat ke dalam halte, dalam keadaan nyaris basah kuyup. Satu tangan memegang payung yang sudah kuyu, sementara satunya lagi memeluk tas kecil berwarna hitam.
Ah, sang malaikat itu ternyata berkenan untuk turun ke bumi sore ini, seiring jatuhnya hujan.
“Hujannya deras ya, Mas?” tanya bapak usia baya itu.
“Hujan angin, Pak. Ada payung pun tak banyak gunanya.”
Ah, suaranya begitu halus, terdengar sangat merdu bersanding dengan irama sang hujan.
“Baru pulang kerja?”
“Iya. Kebetulan hari ini bisa pulang cepat, tapi ternyata malah terjebak hujan. Bapak habis dari mana? Kok sendirian?”
“Habis dari rumah sakit, Mas. Biasa, sudah tua harus sering check-up. Tadinya putra saya memaksa menjemput, tapi saya lebih suka santai naik bus, lagipula kalau sudah sore tidak terlalu penuh.”
“Andai semua orang berpikir seperti Bapak, besar kemungkinan Ibukota tak semacet saat ini.”
“Wah, kalau seperti itu tampaknya saya yang akan berperan memenuhi jalanan Jakarta, karena jelas bus akan selalu penuh dan putra saya tak akan mengizinkan saya naik Bus,” Bapak itu tertawa perlahan, buku yang sedari tadi menemaninya kini terabaikan di pangkuan.
“Benar juga ya, Pak. Saya juga akan repot kalau bus selalu penuh penumpang.”
Ya Tuhan, sebesar apakah dosaku sampai Engkau menghukumku dengan menurunkan sesosok malaikat ini untuk menggodaku?
Ah, Bapak... Aku iri padamu. Dapat duduk bersanding dengannya. Mendengar suaranya. Menikmati tawanya. Ingin rasanya menjelma menjadi kucing kecil dan menyelinap ke pelukannya, mengeong manja untuk mencuri perhatiannya.
Aku menggeleng perlahan, berusaha mengenyahkan setiap imaji mimpi yang melintas di kepalaku.
“Wah, bus Bapak sudah datang ternyata. Bapak duluan ya, Mas,” bapak itu beranjak ketika sebuah bus berhenti di depan halte.
“Duluan ya, Mbak.” Aku tersentak disapa tiba-tiba dan hanya bisa mengangguk kecil. Ucapan bapak itu membuat tatapan sang malaikat beralih padaku. Duh Tuhan, aku harus bagaimana..
Kuanggukkan kepalaku saat tatapan kami bertemu dan sedetik kemudian aku kembali sibuk dengan hp di tanganku, berpura-pura ada pesan yang masuk. Haha, dalih lama memang, tapi tak ada ide lain melintasi kepalaku. Well, kecuali ingin secepatnya menghilang dari tempat itu.
No comments:
Post a Comment