Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..
Wednesday, 21 August 2013
...ngeliwet...
edisi lembur aku hari kedua, dan kerja siang.. agak males juga sih, secara yang lain masih libur lebaran, ini udah harus masuk kerja..
sampai loker ada wacana ternyata anak-anak mau pada ngeliwet.. hmm, ada untungnya juga ya kebagian jaga lembur siang, aku jadi punya waktu untuk ngumpul bareng anak-anak sambil ngobrol ngalor-ngidul.. abis kalo ga ada 'acara khusus' kayak gitu, agak susah juga.. apalagi kalo tugas lagi banyak, ga ada waktu buat diem dulu di loker, pas mau masuk atau abis istirahat..
acara ngeliwet jadinya diadain di kantin utama lt. 5.. tempatnya emang jauh lebih lega dibandingin di kantin Cephalosporin.. yah, berhubung aku pribadi ga tau bakal ada acara seperti itu, jadinya ga bawa apa-apa deh.. untung banget sebelum berangkat sempet kepikiran bawa permen sticky tea, jadi aku bawa aja ke kantin..
and it was fun! talking and laughing.. bagi-bagi makanan.. comment sana-sini, ledekin sana-sini..
dan pastinya foto-foto.. :)
dan ternyata.. permen aku laris manis.. even anak-anak cowok yang aku kira ga suka permen manis, malah ngambil banyak.. ahaha..
permen yang semula penuh tinggal 1/4-nya |
thank you, guys..
it was really fun.. :)
Labels:
candy,
daily life,
foods,
hangout,
kumpulan foto,
work-mates,
works
Sunday, 18 August 2013
...friendship...
“Perhaps the most important thing we bring to another person is the silence in us, not the sort of silence that is filled with unspoken criticism or hard withdrawal. The sort of silence that is a place of refuge, of rest, of acceptance of someone as they are. We are all hungry for this other silence. It is hard to find. In its presence we can remember something beyond the moment, a strength on which to build a life. Silence is a place of great power and healing.” [Rachel Naomi Remen]
Labels:
Fly High!,
manga,
persahabatan,
picture,
quotes,
Rachel N. Remen,
silence
Saturday, 17 August 2013
Can't Let Go - Landon Pigg
well you're the closest thing, I have
to bring up in a conversation
about love that didn't last
but I could never call you mine
cause I could never call myself yours
and if we were really meant to be
well then we've just defied destiny
it's not that our love died, it just never really bloomed
and then we saw our paths diverge
and I guess I felt okay about it
until you got with another man
and then I couldn't understand
why it bothered me so
no we didn't die, we just never had a chance to grow
I can't let go, no I can't let go of you
you're holding me back without even trying to
I can't let go, I can't move on from the past
without lifting a finger you're holding me back
and it might not make much sense
to you or any of my friends
but somehow still you affect the things I do
and you can't lose what you never had
I don't understand why I feel sad
every time I see you out with someone new
I can't let go, no I can't let go
no I can't let go of you
I can't let go, no I can't let go of you
you're holding me back without even trying to
I can't let go, I can't move on from the past
without lifting a finger you're holding me back
Labels:
heart,
Landon Pigg,
lyrics,
music,
US
Peppermint Message - Epilog
Yoga melangkah memasuki locker karyawan untuk menemui Rion yang tengah membereskan
barang-barangnya. Jam kerja overtime-nya
sudah selesai setengah jam yang lalu, dan Yoga bersyukur masih menemukan pemuda
itu di locker.
“Ri, ada sesuatu buatmu,” Yoga mengulurkan sebuah
kertas quisioner pada Rion. “Heh, quisioner paper? Memangnya Rendez-Vous sedang menyebarkan ini ya?
Kok aku baru tahu?” tanya Rion heran.
“Nope, I
just found one inside my monthly report book, and took one lil’ initiative, who
had thought it would end up good,” Yoga melambai dan menghilang dari
ruangan.
Rion melirik selintas kertas di tangannya, berisi
nama seorang gadis – Clara Sandryatifa, program studi – Teknik Kimia, nomor
handphone, alamat email, beberapa tanda silang dalam kolom sangat
setuju-setuju-kurang setuju-tidak setuju-sangat tidak setuju. Namun sebuah
tulisan di kolom kritik dan saran – di bagian paling bawah quisioner – menarik perhatian Rion. Kalimat singkat dengan tulisan
tangan rapi.
Peppermint tea-nya beneran enak kok..
Dan aku lebih suka peppermint tea buatanmu.. :)
Dan Rion segera menyimpan kertas quisioner itu ke dalam saku jaketnya,
sambil tersenyum. He'll give her a call tonight, for sure..
Labels:
cerpen,
coffee shop series,
my story,
peppermint message
Peppermint Message - Chapter 2
“Ethan, table
10, dua frozen choco-oreo, satu lemon squash, dan satu peppermint tea!” Catrina – salah satu waitress part time, berteriak di pintu dapur. Aku berlari ke arah pintu
untuk mengintip isi coffee shop. Aha,
itu gadis peppermint tea. Dan
tiba-tiba aku tergoda untuk melakukan penelitian kecil.
“Ethan, aku yang meracik peppermint tea ya?” kataku.
“Oke. Nih, tangkap,” Ethan melempar kotak tea bags ke arahku dan menyibukkan
dirinya dengan slush machine. “Tumben
ni anak inisiatif duluan, biasanya kalau udah kepepet baru mau ngebantuin,” komentar
Anton dari balik oven.
“Hey, aku udah dapat sertifikat lulus dari Ethan
untuk meracik peppermint tea, jadi
boleh dong langsung dipraktekkan,” aku menanggapi sambil nyengir.
Sepuluh menit kemudian Catrina masuk ke dapur
untuk mengambil pesanan, sekaligus menyerahkan order makanan pada Anton. Aku berjingkat ke arah cashier, sehingga dapat mengamatinya
lebih jelas.
“Hey, Ri, ngapain di sini?” tanya Yoga heran.
“Mau belajar bikin laporan dong, boleh nggak? Jadi
kalau akhir bulan nanti aku bisa bantuin kamu juga,” aku memberi alasan,
sementara pandangan mataku terus tertuju pada meja nomor 10.
“Ehm, mau belajar bikin laporan atau mau
memperhatikan seseorang?” ucapan Yoga membuatku segera mengalihkan perhatian ke
arahnya, yang balik menatapku sambil tersenyum. “Udah, nggak usah pake alasan
basi segala. Kamu jagain kasir aja kalau gitu, biar aku yang bertugas di
belakang bantuin Anton,” pemuda itu menepuk bahuku, senyumnya tak juga
berhenti, malah semakin lebar. “Sekalian ngegosip,” sambungnya.
Aku melangkah menuju cash machine, sesekali melirik ke meja 10, melirik ke satu gadis
yang selama seminggu ini reaksinya terus menghantui pikiranku. Aku bukannya
tipe orang yang terlalu memperdulikan pendapat orang lain, but since Ethan himself said that my peppermint tea has a same taste
with his, lalu kenapa gadis itu bereaksi berbeda?
Tubuhku menegang ketika melihat gadis itu
menyeruput tehnya. Oh, God, please, tell
me that I just overreacts over small thing, that I just misread her respond,
that her respond had no connection with my tea, that...
Dan rangkaian doaku terhenti ketika gadis itu
kembali mengerutkan keningnya. Ia menatap isi gelasnya, kemudian menyeruputnya
sekali lagi, dan terdiam. Seorang temannya menoleh ke arahnya, mungkin
menanyakan sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun gadis itu hanya menggeleng
dan tersenyum manis, kemudian mereka berempat pun kembali tenggelam dalam
sebuah percakapan.
Dan aku hanya mampu mencaci dalam hati. Mencaci
rasa penasaranku, mencaci penelitian kecilku, dan mencaci rangkaian doaku yang
tak terkabul.
* * * * *
“Hey, Rion, bisa overtime sore ini? Angga mendadak nggak bisa masuk kerja karena ada
kelas tambahan,” Mr. Ardian – manajer Rendez-Vous
– menghampiriku yang sedang serah terima tugas dengan Yoga. Hari ini Yoga
memang bertugas di sore hari, sehingga sesiangan tadi aku yang berjaga di meja cashier.
Aku baru saja hendak menolak tawaran Mr. Ardian –
mengingat setumpuk paper yang harus
dikerjakan malam ini – ketika gadis peppermint
tea itu melangkah masuk, sendirian. “Ah, aku bisa kok, Mr. Ardian. Tapi
akhir tahun ini bonusku besar ya?” aku mengencangkan tali apron-ku yang sudah
setengah terbuka, lalu tertawa ketika Mr. Ardian memukul bahuku pelan dengan
organizer-nya.
Kulangkahkan kakiku ke dapur, dan lima menit
kemudian Yoga datang membawa order
yang sudah kutunggu – peppermint tea,
bersama dengan chicken garden salad.
“Kamu yang mau meracik pepermint tea-nya?”
Ethan melangkah ke sampingku.
“Yap. Boleh kan?” tanyaku.
“Dengan senang hati. Sering-sering aja seperti
itu, meringankan tugasku,” Ethan menanggapi sambil tertawa, membuahkan cibiran
dariku. Tak lama Naia – waitress jaga
sore itu – datang mengambil minumannya, sementara perlu waktu sepuluh menit
lagi bagi Anton untuk menyelesaikan chicken
garden salad.
Aku melipir ke arah pintu dapur, menanti reaksi
dari gadis peppermint tea itu setelah
menyeruput racikanku. Hmm, dia pasti akan mengerutkan keningnya lagi, dan
menatap ke dalam gelasnya seolah-olah ada yang aneh di dalam sana, mencari
sesuatu yang tidak seharusnya ada, mencari sesuatu yang tidak akan ada bila teh
itu diracik oleh Ethan. Aku masih mencari-cari apa yang berbeda dari peppermint tea racikanku dan peppermint tea racikan Ethan, bahkan
memperhatikan langsung ketika Ethan meraciknya, dan aku belum bisa menemukan
dimana letak perbedaannya – sesuatu yang luput dari perhatianku namun langsung
dia sadari kali pertama dia meneguk tehnya.
Gadis itu menutup buku bacaannya ketika Naia
meletakkan peppermint tea. Dia
menghirup aromanya sekejap sebelum mulai menyeruputnya, dan seperti yang
kuduga, sebuah kerutan muncul di keningnya. Gadis itu menyeruputnya sekali
lagi, lalu kembali meneruskan bacaannya sambil tersenyum.
Senyuman yang membuatku terkejut.
Senyuman yang membuatku ingin mengetahui artinya.
Senyuman yang segera membuatku mengambil alih baki
berisi chicken garden salad dari
tangan Yoga dan meluncur ke meja tempat gadis itu berada.
“Selamat sore, mbak. Chicken garden salad-nya,” aku menyapa sambil berusaha menenangkan
detak jantungku sendiri.
“Ah, terima kasih, mas,” gadis itu menggeser peppermint tea-nya. Aku baru saja
membalikkan tubuhku ketika gadis itu kembali bersuara, “Mas, yang ngeracik peppermint tea ada dua orang ya?”
Kuputar kembali tubuhku dan mendapati dia tengah
tersenyum manis ke arahku. “Iya, kok mbak bisa tahu. Memang rasanya beda ya?”
“Yang ngeracik peppermint
tea hari ini siapa?”
“Itu saya yang ngeracik, mbak. Saya baru dua
minggu ini belajar ngeracik dari mas Ethan, jadi maaf kalau rasanya kurang.
Bedanya di mana ya, mbak? Biar nanti saya perbaiki.”
“Aku nggak bisa bilang di mana bedanya sih, mas.
Nggak kentara kok bedanya, tapi terasa aja. Mungkin karena aku udah terbiasa
minum peppermint tea racikannya mas
Ethan kali ya, jadi begitu minum racikan yang lain terasa bedanya. Tapi racikan
yang ini juga enak kok, mas,” sebuah senyum kembali terlahir dari bibirnya.
“Oh ya? Terima kasih buat pendapatnya, mbak,” aku
membalas senyumnya dan mengangguk pelan, kemudian melangkah kembali ke dapur
sambil berusaha terlihat tenang. Baru ketika sampai di sudut dapur, aku
bersandar di dindingnya dan merosot hingga terduduk, lalu menutup wajahku
dengan kedua tangan.
“Ri, ada apa? Gadis itu memangnya tadi bilang
apa?” Yoga segera berlari menghampiriku. “Hey, ada apa memangnya?” Anton
melangkah menghampiriku dan Yoga. “Nggak tahu. Gadis di meja 10 itu tadi bilang
sesuatu sama Rion, aku juga ingin tahu ada apa,” Yoga menepuk kepalaku.
“Dia bilang peppermint
tea-ku enak. Dia langsung tahu itu bukan racikan Ethan karena sebelumnya
dia terbiasa minum peppermint tea-nya
Ethan. Dia bisa ngebedain rasanya, meskipun dia nggak tahu di mana bedanya.
Tapi dia bilang peppermint tea
racikanku juga enak,” aku bergumam panjang-lebar, masih menyembunyikan wajahku
dengan kedua tangan.
“Dih, aku kira ada apa. Rupanya si gila ini lagi
jatuh cinta,” Yoga mendorong pelan kepalaku. “Sudah, bubar semuanya. Kembali
lagi ke meja masing-masing,” Anton menimpali.
“Kalian ini, simpati sedikit kek sama temannya
yang lagi galau,” protesku sambil melempari mereka satu persatu dengan gulungan
kertas yang kutemukan di tempat sampah kering di dekatku. Seisi dapur hanya
menanggapiku dengan tertawa.
Overtime sore itu kuhabiskan dengan membantu Ethan atau
Anton di dapur, entah mengapa aku mendadak tak sanggup melangkahkan kakiku ke
area coffee shop. Meskipun ingin
melihat gadis itu lagi, melihat reaksinya lagi saat menyeruput peppermint tea racikanku, namun rasanya
kejutan hari ini sudah lebih dari cukup atau aku khawatir jantungku akan
berhenti berdetak.
* * * * *
Labels:
cerpen,
coffee shop series,
my story,
peppermint message
Peppermint Message - Chapter 1
“Met siang!” aku melangkah ke arah dapur. “Sorry telat, dosen pembimbing bermasalah
lagi. Janjian jam 9 baru nongol sejam kemudian,” sambungku.
“Nih, bikin peppermint
tea,” Angga melemparkan apron Rendez-Vous
padaku, kemudian sibuk menata piring-piring selanjutnya.
“Whoa, sibuk sekali ya hari ini, sampai kalian
nggak ada basa-basi,” aku menanggapi, lalu segera mengambil gelas melihat Ethan
melotot ke arahku. “Hey, seriusan nih aku yang bikin peppermint tea?” tanyaku pada Ethan yang sibuk berkutat dengan coffee machine-nya.
“Iya, udah tahu kan bahannya apa saja. Tea bags, mint leaves, honey, lemon juice,” Ethan menjelaskan cepat
sambil membawa gelas-gelas pesanan keluar dapur untuk menyerahkannya pada waiter.
Aku baru bekerja part-time di Rendez-Vous
selama 4 bulan, seringnya hanya sebagai waiter
yang bertugas menulis pesanan dan mengantarkannya ke meja costumer, atau sesekali membantu Yoga di bagian cashier. Baru 2 minggu ini aku belajar
menyeduh teh dari Ethan. Awalnya hanya black
tea biasa, lalu meningkat menjadi berbagai variasi teh seperti peppermint tea, ginger tea, dan mojito.
“Meja berapa sih?” tanyaku.
“Meja 15. Sini, biar aku yang antar. Kamu bantu
Anton saja,” Angga mengambil baki dan mulai menata gelas-gelas di atasnya. Aku
melipir ke dekat Anton, menaruh garnish
pada piring berisi tuna fusilli dan
menyiapkan fresh garden salad.
“Ini meja berapa?” tanyaku lagi.
“Meja 15 juga,” kata Anton singkat. Aku menunggu
Angga kembali namun pemuda itu langsung sibuk ketika beberapa pengunjung
memasuki coffee shop. “Aku yang antar
ya?” aku memberitahu Anton dan melangkah keluar dapur. Namun tak lama Angga
kembali dan mengambil alih baki pesanan dari tanganku. “Hari apa sih ini?
Tumben Rendez-Vous penuh banget,”
pemuda itu mengomel pelan sebelum berlalu.
Aku mengedarkan pandangan ke seisi coffee shop dan setuju dengan komentar
Angga. Jam baru menunjukkan pukul 11 siang, namun hampir 80% meja terisi costumer, dan mengingat hari ini adalah
hari Rabu, cukup takjub juga melihatnya.
Tatapanku kemudian jatuh pada seorang gadis di
meja 15 yang tengah menyeruput segelas tea
dengan irisan lemon di tepian gelasnya. Ha, itu peppermint tea racikanku. Aku memperhatikannya sekedar untuk
mengetahui bagaimana reaksinya, dan cukup terkejut melihat gadis itu mengerutkan
keningnya sambil menatap isi gelas tersebut beberapa saat.
“Hey, Ethan,” aku segera berlari kembali ke dapur,
sekaligus membawa order yang
diberikan Angga kepadaku. “Mengenai resep peppermint
tea yang tadi kubuat, apa sudah benar?” Dan aku menyebutkan satu persatu
bahan yang kugunakan beserta takarannya. Ethan mengangguk membenarkan, yang
membuatku terdiam. Lalu, mengapa gadis itu mengerutkan keningnya?
“Memangnya kenapa, Ri?” Ethan bertanya ketika
melihat reaksiku.
“Nggak ada apa-apa kok. Nih, ada order baru dari Angga, apa yang bisa aku
bantu?”
* * * * *
Hari ini gadis peppermint
tea itu muncul lagi bersama ketiga temannya, dan kali ini peppermint tea yang diantarkan adalah
racikannya Ethan – berhubung coffee shop
sedang sepi siang ini. Aku tergoda untuk mengetahui reaksinya, sehingga sengaja
aku berdiam di dekat Yoga, membantunya merapikan berkas pembukuan akhir bulan.
Kuperhatikan gadis itu ketika ia mulai menyeruput minumannya, ia terdiam
sesaat, namun kemudian kembali bergabung dengan percakapan teman-temannya.
“What? Different respond?” bisikku tak percaya.
Aku kembali ke dapur, menuangkan secangkir kecil peppermint tea racikan Ethan dan membuat segelas peppermint tea – sesuai yang kubuat
beberapa hari yang lalu, lalu membandingkannya. Rasanya sama kok, batinku.
“Kenapa, Ri?” Ethan menghampiriku yang tengah
termenung sambil menatap kedua gelas bergantian. “Hey, would you like to try these and tell me the differences of them?”
tanyaku pada Ethan.
Ethan mencoba dan mengerutkan keningnya, “Sama kok
rasanya. Memangnya ada apa? Ada yang complaint?”
“Nggak kok, nggak ada complaint apa-apa. Hey, berarti aku sudah lulus buat bikin peppermint tea ya?” kataku sambil
nyengir. “Kalau belum lulus, aku tak akan membiarkanmu membuatnya beberapa hari
yang lalu, tahu,” Ethan mendorong kepalaku pelan dengan tangannya. “Sana jaga
di cashier, biar Yoga bisa fokus
ngerjain laporan,” sambungnya lagi.
“Lalu, kenapa reaksinya berbeda saat meminum
racikanku dan racikannya Ethan?” gumamku.
* * * * *
Labels:
cerpen,
coffee shop series,
my story,
peppermint message
Friday, 16 August 2013
Kyouya & Haruhi
today I re-read Ouran High School Host Club manga again..
and found one picture at the end of 3rd book..
it's a picture of Kyouya Ootori (without glasses) and Haruhi Fujioka (with long hair)..
they are cute together, aren't they?
*hehe*
Labels:
Haruhi Fujioka,
Kyouya Ootori,
manga,
Ouran
Thursday, 15 August 2013
hanya sahabat
aku
membencimu karena sahabat
tempat
kuhentikan semua pinta
kala
arus berubah haluan
dan
rasa kuasai peran
aku
merindumu karena sahabat
pusara
seluruh tangis dan duka
kala
bersanding sunyi uapkan beban
lahirkan
lagi tawa
lahirkan
lagi asa
aku
merelakanmu karena sahabat
satu
batas tak mampu terlangkah
satu
nada terbungkam diam
hanya
sepercik pinta lalu terlupa
aku
hanya
sahabat
300713
04.59 am
*saat mendadak ingin menulis sesuatu, entah memikirkan siapa*
Labels:
heart,
life,
persahabatan,
puisi
The Hunger Games - Book
Around two
months ago, first time I watched The Hunger Games movie.. awalnya karena
penasaran sih, banyak orang bilang film itu keren banget.. and I was wondering,
what kind of games that Hunger Games, so people very interested about that
movie, that book.. and the books, it's trilogy - The Hunger Games, Catching
Fire, and Mockingjay..
And after
watching the movie, I found myself enchanted by that.. latar belakang cerita
yang cukup dark, friendship here, killing people there, with a little
star-cross-lover kind.. overall, aku suka banget sama movie-nya, story-nya
mudah dimengerti even buat orang-orang yang belum baca bukunya.. kadar love
story-nya pas buat bikin greget dan terharu, tanpa ngurangin kesan dark dari
film itu..
And then, I
started to read the book.. and it enchanted me more and more.. it's been a long
time before, aku nemuin satu buah buku yang berhasil bikin aku terjaga
semaleman hanya karena nggak sanggup buat nutup buku dan menunda mengetahui cerita
selanjutnya seperti apa.. malam-malam panjang dimana aku bergadang, tenggelam
dalam sebuah permainan named 'The Hunger Games', tenggelam dalam perjuangan
Katniss Everdeen untuk tetap bertahan hidup, dan tenggelam dalam kisah cinta rumit
antara Katniss dan Peeta.. although I thought the love-stories in book were a
little too much.. I prefer the portion in the movie.. reading Katniss-Peeta
love-stories in the book was like watching the 3rd movie of Harry Potter when
too many romance acts between Ron and Hermione.. too much it almost killed the excited feeling for adventure,
for sure..
But then, 5 stars (of 5) I gave to The Hunger Games
book.. karena sudah berhasil membawa aku ke satu dunia baru penuh petualangan,
satu dunia yang cuma bisa kita alamin dari membaca buku.. :)
And here is some quotes I've got from the book :
Labels:
books,
my thought,
quotes,
review,
Suzanne Collins,
The Hunger Games
Subscribe to:
Posts (Atom)