Kupandangi gapura berwarna merah yang sudah mulai termakan usia itu. Kompleks Taman Angkasa, begitu tulisan yang dibentuk oleh deret-deret huruf dari stainless mengkilat. Lima tahun kiranya aku sudah meninggalkan tempat ini, mengejar mimpi remaja sambil menggenggam sepercik harap. Harap yang belakangan ini baru kutahu takkan pernah terwujud, bagaimana pun aku berusaha.
Kuhela nafasku, tersadar selama beberapa saat memandangi gapura itu ternyata aku menghambat kerja paruku sendiri. well, you’re finally here, Rio. Kenapa nggak masuk saja dan melihat seberapa jauh kenyataan berubah?
Kulangkahkan kaki menapaki batu beton yang tersusun rapi. Jejak langkah semakin membawaku hanyut dalam kenangan. Ah, taman bermain itu. saat untuk pertama kalinya aku bertemu sosok perempuan mungil bergaya preman. Tak peduli rambutnya yang panjang terurai, tak mempermasalahkan baju terusan pink yang dipakaikan ibunya, perempuan mungil itu dengan sigap melompat memanjat pohon mencoba meraih benang layangan putus yang tersangkut.
Lalu, Pochi. Apa kabar anjing besar peliharaan bapak ketua RT itu sekarang? Berkat ‘jasa’ dia yang berhasil keluar dari pagar dan menyalak galak pada gadis kecil di atas pohon itu, aku jadi bisa berkenalan dengannya. Well, setelah sebelumnya aku melempari Pochi dengan sepatuku dan harus pasrah karena anjing besar itu pergi dengan menggondol sebelah sepatu kesayanganku itu.
“Hey, sudah nggak apa-apa, kamu bisa turun sekarang!” teriakku pada sosok yang masih erat memeluk batang pohon.
“Dia beneran sudah pergi kan?” tanyanya cemas. Aku hanya mengangguk, sambil memperhatikannya menuruni pohon perlahan.
“Makasih, sudah mengusirnya dari sini,” katanya sambil tersenyum manis ketika kedua kaki mungilnya sudah menapak tanah. “Anjingnya besar sekali. Kamu hebat berani menghadapi anjing sebesar itu.”
Aku hanya tersenyum sombong mendengar pujiannya, padahal kalau mau jujur, lututku masih gemetar, membayangkan bagaimana kalau Pochi bukannya pergi karena gertakan sambalku tapi malah berbalik menyerangku. Ah, tapi dasar bocah ingusan, aku malah membusungkan dada sambil bilang, “itu sih masalah kecil buat aku.”, dan mendadak terbang ke langit ketujuh saat dia menatapku kagum.
Kupejamkan mata saat samar-samar kudengar nyanyian adzan ashar. Adzan yang dulu seringkali aku kumandangkan di kelas TPA hanya untuk menarik perhatian sepasang mata yang malah sibuk bercanda dengan teman-temannya.
Ah, kenangan. Aku tersenyum kecil dan meneruskan langkahku, melintasi satu demi satu bangunan yang beranjak melepaskan kembali kepingan masa lalu, lalu merangkainya menjadi lukisan manis yang kini beranjak sendu.
Langkahku berhenti di depan sebuah sekolah dasar, dan ribuan kenangan kembali mengisi memoriku, ciptakan lebih banyak lagi hampa di kedalaman hatiku. Kelas 4 SD ketika aku nyaris melabrak murid baru pindahan dari Jakarta karena dia merebut posisi juara kelas yang selalu kau pegang selama 3 tahun sebelumnya. Atau Hakim, sang ketua kelas di kelas 5 yang lalu menunjukmu untuk menjadi wakilnya, dan membuat kalian sering menghabiskan waktu hanya berdua setelah pulang sekolah.
Dan ketika malam kelulusan, aku hanya bisa menatap takjub dirimu yang bermetamorfosis dengan sangat sempurna dari sang sahabat yang tomboy menjadi gadis anggun yang tak tersentuh. Aku ingat setelahnya kau marah besar padaku karena tak sekalipun menyapamu di pesta itu. Ah, andai kau tahu bagaimana jantung ini selalu tersentak hebat ketika siluetmu melintas. Aku hanya khawatir ia akan berhenti berdetak jika kusapa dirimu. Tapi tentu saja bukan itu jawaban yang kuutarakan. Aku belum mampu mengambil resiko untuk kehilangan ikatan persahabatan itu.
Lalu kita masuk ke SMP yang sama, atas dasar janji yang tercipta saat pengumuman kelulusan SD. Dan aku hanya bisa menjadi saksi bisu bagaimana sesosok ulat nakal dalam sekejap berubah menjadi kupu-kupu nan jelita. Kembang sekolah, begitu para pemuda yang baru mengenal cinta itu memanggilmu. Well, aku cukup bangga masih layak bersanding denganmu meski hanya dengan status sahabat dan lirikan galak pemuda lain. Tapi di sisi lain hati, aku mulai merapuh, mulai menghitung hari demi hari di mana aku akan kehilanganmu. Merelakan saat dirimu menyambut uluran tangan cinta lain, tanpa pernah menyadari bahwa di sampingmu selalu ada cinta, yang dari dulu tak pernah berubah, hanya semakin membesar.
Dan tak lama kau pun mulai mengenal cinta pertama, menjatuhkan pilihan pada sang kakak kelas ketua klub tenis yang kau ikuti. Aku hanya bisa mencoba memberikan senyuman termanisku saat mendengar ceritamu, meski separuh hati ini meradang. Lalu kau pun mulai bertanya siapa kiranya pelabuhan hatiku, karena aku tak pernah membahasnya. Dan aku hanya mampu menggelengkan kepala, beralasan belum menemukan. Hmm, bagaimana jadinya kalau saat itu kukatakan bahwa gadis manis yang duduk di hadapankulah yang sejak awal telah berhasil menggenggam satu-satunya hati yang kumiliki.
Kupandangi telapak tangan kiriku. Tangan ini dulu pernah memelukmu, menepuk lembut punggungmu kala kau terisak patah hati. Sang cinta pertama itu ternyata sudah tertambat pada gadis di sekolah lain. Dan ketika kau terisak, separuh hatiku tergores perih karenanya, namun separuhnya lagi bersuka cita karena tak perlu khawatir akan kehilanganmu. Ah, layakkah diri ini disebut sahabat, kala aku justru menari di atas air matamu.
Aku menghela nafas panjang dan menggeleng lemah, berusaha memaksa diri untuk kembali ke kenyataan. Cerita itu sudah lama berlalu, namun entah mengapa masih terukir jelas di ingatan, sebesar apapun aku mencacinya.
Kupalingkan wajahku dari gedung sekolah dasar itu dan kembali menyusuri jalanan beton menuju satu cafe mungil di sudut jalan. Inilah tempat dimana kami sering menghabiskan masa SMA bersama-sama, kala pilihan sekolah mulai berbeda dan dia telah menemukan tambatan hati yang lain. Saat itu aku pun akhirnya mencoba untuk berpaling, mengubur ribuan harap tentangnya dan menerima satu pernyataan gadis lain.
Di cafe kecil ini, kita biasa lewatkan sore hari – hanya berdua – berbagi cerita tentang sekolah dan cinta, tentang mimpi dan masa depan. Kala itu mimpiku ingin menjadi dokter spesialis jantung, dan kau bergurau dengan mengatakan akan mengambil jurusan kebidanan agar kita bisa selalu bersama. Nyaris saja perasaan ini terlontar dari bibir, namun lagi dan lagi aku membeku, memilih untuk mempertahankan persahabatan ini. Persahabatan yang rapuh, karena telah kuletakkan cinta rahasia di atasnya.
Di cafe ini pula salam terakhir kusampaikan untukmu, ketika pengumuman universitas memaksaku untuk beranjak ke lain kota. Gambaranmu yang tersenyum manis dengan sebutir air mata mengalir di pipi terpatri jelas hingga kini. Namun kembali, aku dengan ego dan ketakutanku, hanya bisa memelukmu singkat dan ucapkan selamat tinggal. Meski seribu pinta ingin kulantunkan untukmu : dewiku, bidadariku, pemilik utuh hatiku.
Kurasakan air mata mulai menggantung selama aku menatap cafe mungil dengan untaian kenangannya. Segumpal penyesalan kembali menyesakkan dada, dengan ribuan kata andai. Namun waktu terus melangkah maju, seberapa pun kau berlutut memohonnya, dan masa lalu pun hanya akan menjadi kenangan.
Kuarahkan langkahku menuju lahan luas di area belakang kompleks, dan seketika itu jua air mata mendesak untuk keluar. Aku bersandar di pintu gerbangnya, menatap deretan nisan dingin di depanku. Ya, di salah satu nisan itu terukir namamu, walaupun aku belum tahu di sudut sebelah mana jasad dari jiwa yang kusayangi itu tertidur.
Dengan langkah tertatih kumasuki area itu, mencari dan terus mencari hingga kutemukan satu tempat dimana mawar putih menghiasi dengan indahnya. Ah, itu bunga kesukaanmu. Aku ingat kau pernah setengah merengek memintaku membawakan mawar putih untukmu saat kelulusan SMA, dan setangkai mawar putih pula yang kau berikan saat hari perpisahan kita.
“Catrina..,” aku duduk bersimpuh, terisak. “Kenapa nggak pernah bilang sama aku kalau penyakit jantungmu kambuh lagi? Kenapa orang tuamu nggak pernah bilang sama aku saat kamu mulai dirawat di ICCU? Kau kan tahu kalau keluargaku ikut pindah ke Bandung setahun setelah aku masuk kuliah, setelah itu kenapa nggak ada kabar sama sekali dari kamu?!”
“Cat, hari ini aku datang mau ngasih lihat ijazah dokter aku. Kau tahu kenapa aku ingin menjadi dokter spesialis jantung? Aku ingin menjadi dokter pribadi kamu. Rencanaku sehabis lulus kedokteran umum ini, aku ingin mengajukan posisi itu, Cat. Aku ingin menjadi dokter pribadi kamu selamanya. Perlu waktu tambahan lima tahun bagi aku untuk akhirnya memberanikan diri melangkah keluar dari persahabatan kita, tapi ternyata bagi Tuhan itu sudah terlambat. Sangat terlambat.”
“Catrina, aku sayang kamu...”
* * * * *
Dua bulan yang lalu, sebuah berita duka ditujukan untuk Rio. Beserta selembar surat singkat dengan tulisan tangan yang sudah sangat dikenalnya.
Dear Rio,
Apa kabar? Maaf aku tak pernah memberimu kabar, aku tak ingin mengganggu kuliahmu. Hanya saja aku merasa kali ini aku harus mengabarimu sesuatu, atau kau akan marah besar padaku. Minggu depan aku akan operasi jantung, lubang di jantungku mulai membesar – mungkin akibat terlalu lelah dengan jadwal kuliah. Dokter bilang kemungkinan berhasilnya 90%, tapi tetap saja aku ketakutan. Bagaimana kalau aku termasuk 10% yang tidak berhasil?
Hey, kau tahu apa arti bunga mawar putih? Mawar putih artinya ketulusan cinta, bisa juga berarti cinta sejati. Itulah sebabnya kuberikan mawar putih pada saat melepas kepergianmu. Semoga kau bisa menyimpulkan apa artinya.
Tetap semangat meraih mimpimu. Ketika kau kembali nanti, aku berharap kau bersedia menjadi dokterku.
Salam sayang,
Catrina
No comments:
Post a Comment