“Huff...” Aku menutup sebuah textbook tentang mental
disorder dan melepas kacamataku. Dua minggu sudah aku berkutat dengan
segudang textbook dan journal di internet hanya untuk mencari
materi yang tepat untuk tugas akhirku. Begitu banyak materi tentang mental disorder yang membuatku malah
semakin kehilangan arah untuk menentukan judul, sementara batas waktu
pengumpulannya hanya tinggal sebulan lagi.
“Panic
attack, narcolepsy, bulimia nervosa, agoraphobia,” aku membaca beberapa
coretan yang kubuat di kertas buram. “Asperger’s
disorder, autism, bipolar disorder, schizophrenia.”
Kualihkan pandanganku dari layar laptop keluar
jendela. Area kampus sore hari masih tampak sibuk, well, mungkin karena masih awal tahun ajaran dimana kegiatan ospek
jurusan masih berlangsung. Beberapa mahasiswi baru melintas mengenakan kemeja
putih dan rok panjang hitam, sibuk dengan segudang barang bawaan dan kertas
catatan di tangan. Hmm, sudah empat tahun berlalu sejak aku mengecap pahitnya
kesibukan ospek yang ternyata jauh melebihi kesibukan aku menghadapi
materi-materi kuliah baru.
Seorang waiter melintasi meja tempatku duduk.
“Mas, gelasnya mau diisi lagi?” tanyanya sambil menunjuk gelas kopiku yang
mulai kosong – untuk ketiga kalinya. Aku hanya mengangguk dan kembali
memperhatikan layar laptopku saat dia menuangkan cairan hitam dari coffee pot yang dibawanya. No, it’s not espresso, just a regular
Indonesian black coffee. Lambungku bisa meradang gila kalau aku minum espresso sampai 4 gelas dalam sekali
teguk – no matter how caffein-addict I am.
Ah, I
always love spending time here in Rendez-Vous. Aura coffee shop ini
selalu membuatku nyaman meski hanya duduk sendirian – not feeling misplaced like in any other coffee shop or cafe. Dan
tampaknya kebanyakan orang juga merasa demikian, karena aku juga sering sekali
menemukan mahasiswi atau mahasiswa yang duduk sendiri di dalam Rendez-Vous,
sibuk dengan laptop dan setumpuk buku, atau hanya berteman sebuah novel.
Kukenakan kacamataku untuk kembali menjelajah
dunia maya ketika tersadar ada seseorang berdiri di samping mejaku. “Permisi.
Kak Rama?” tanyanya pelan saat kualihkan pandanganku. Aku hanya mengangguk,
menatap bingung seorang mahasiswi berpakaian putih-hitam.
“Wakil ketua BEM Psikologi?” gadis itu bertanya
lagi, dan kembali aku hanya mengangguk.
“Aku bisa minta waktu kakak sebentar? Kalau nggak
mengganggu,” gadis itu mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Ah, buku
perkenalan kakak angkatan – salah satu tugas ospek jurusan yang harus
dikumpulkan setiap minggu untuk melihat progress
perkenalan setiap mahasiswa baru. “Eh, tapi kalau aku mengganggu kakak, next time aja nggak apa-apa,” katanya
lagi.
“No, no.
It’s fine. Have a seat,” aku menunjuk satu kursi di hadapanku, dan
menggeser laptop dan tumpukan bukuku ke samping. Kubuka buku perkenalan yang
disodorkannya dan melihat halaman identitas diri. “Reva Trisandi Maharani. Hmm,
namanya bagus. Panggilannya Reva?”
“Trisa, kak. Waktu sekolah, selalu ada siswi lain
yang namanya Reva, jadi harus cari nama panggilan baru. So, suddenly I get used with that nickname,” gadis itu – Trisa –
menatap tumpukan textbook-ku dengan
takjub. “Lagi sibuk banget ya, kak? Bener aku nggak ganggu kakak?”
“Lagi nyari inspirasi buat judul tugas akhir nih.
Nggak ganggu kok, lha inspirasinya aja nggak datang-datang,” aku nyengir. “Baru
selesai kuliah jam segini?” tanpa sengaja kulirik jam tanganku, jarum jam
pendek sudah bergerak melintasi angka 4.
“Baru selesai ospek lebih tepatnya,” jawab Trisa. “Pengenalan
jurusan – overview tentang
perkuliahan di Psikologi, perkenalan klub mahasiswa yang ada di jurusan. Dan
berakhir dengan sidak tatib,” sambungnya sambil tertawa pelan.
“Seru?” aku ikut tertawa.
“Hmm, kalau definisi seru menurut kakak melibatkan
dua puluh kali scot jump dan berbagai
teriakan di auditorium jurusan, yes, it
is.”
“Ahaha, kamu pasti capek kalau gitu. Aku belikan
minum ya? Kamu mau pesan apa?” aku mengangkat tanganku untuk memanggil waiter.
“Ah, nggak usah, kak. Aku nggak mau ngerepotin kakak, lagian aku nggak haus
kok,” Trisa langsung menggerakkan tangannya, menolak tawaranku.
“Hey, perkenalan dengan aku nggak akan cepet lho,”
aku menanggapi dengan wajah datar, sambil membuka-buka buku perkenalan, sementara
dalam hati mencaci. Gosh, Rama, are you
flirting with a freshman? Seriously?
“Kalau gitu aku mau pesan sparkling water aja,” Trisa berkata perlahan ketika sang waiter
menghampiri. Aku melirik selintas dan menyadari perubahan raut wajahnya, meski
tak kentara. Damn, you screwed up already, Ram.
“So, let’s
start the introduction,” aku mencoba menetralkan suasana.
“Seperti yang sudah kakak tahu, nama panggilanku
Trisa. Aku berasal dari Bandung. Lahir dan besar di sana.”
“Hmm, mojang sunda ternyata,” aku menanggapi.
“Mojang Bandung, kak. Aku nggak bisa ngomong
bahasa sunda soalnya,” kata Trisa sambil nyengir. “No complaint, please. Bandung is a big city tempat semua orang dari
berbagai suku ada. Just like Jakarta, not
everyone in Jakarta could speak Betawi, right?”
sambungnya membela diri sebelum aku berkomentar.
“Okay. But
you was born there, right? It makes you a sundanese, right?”
“Iya sih...,” dia nyengir. “Could you just please skip that part?” katanya akhirnya.
“Ahaha.. okay...,”
aku tak bisa menahan tawaku. She’s so
funny, so charming. She’s just... okay, Rama, stop it before you fall too deep.
“I have two
big sisters, and one adopted nephew who has PTSD. That’s the main reason I
chose Psychology as my college subject,” penjelasannya membuatku
mengerutkan kening. “PTSD? Hmm,
interesting. Mind to tell me about that?” tanyaku.
“Sandi – my
adopted nephew, kehilangan kedua orang tuanya saat banjir bandang di
Kalimantan Selatan tahun 2010 lalu. Luckily
– if we can say it was lucky – he got help right in time, but didn’t with his
parents. Kakakku yang saat itu masih berstatus dokter muda ditugaskan ke
sana bersama beberapa temannya sebagai perwakilan dari kampus. Gosh, he was just so young, so fragile. A 5
years old boy who witnessed his both parents drowned by flood, and he has
nobody else there. So, kakak membawanya ke Bandung. It was hard for all of us to handle him at first. He closed himself –
won’t talk to anybody but my sister, screamed every night due to nightmares,
scared to death to water – dia bahkan nggak mau mandi sama sekali, hid himself inside the blanket when the rain
comes,” Trisa bercerita panjang lebar.
“Gosh, it
must be really hard,” komentarku.
“Yeah, but
it definitely much harder for him. So, two months later we visited some
psychologs and started his medications. It’s going better, at least he baths
regularly now,” Trisa nyengir. “But
sometimes nightmares still come, so we still can’t leave him sleep alone.”
“Wow, you
have a great life-story to tell,” aku menggeleng takjub. “Yap!” gadis itu
tertawa. “Tampaknya bisa dijadikan salah satu cerita sinetron televisi lokal, well, kalau intelektual dan imajinasi
para kru-nya nyampe ke sana sih,” sambungnya.
“Hey, you’re
underestimating our local television production,” komentarku. “Are you not?” gadis itu malah balik
bertanya.
“I’m not. I
can’t, honestly, since I never watch our local television,” aku nyengir.
“Hey, kak,” Trisa melirik tumpukan textbook-ku
sambil menyesap sparkling water-nya.
“How’s Psychology from your perception?”
tanyanya.
“Why? Scared already?” kataku menahan tawa.
“Nope. Just
curious. I’m going to spend about 4 years here, so better if I’m preparing from
now, right?” gadis itu kembali tertawa.
Dan aku akhirnya termakan ucapanku sendiri, it definitely not a short, quick
introduction. But I’m okay with that. I enjoy it, actually.
* * * * *
No comments:
Post a Comment