Bel mungil di pintu salah satu coffee shop pusat perbelanjaan itu berdenting ketika aku melangkah masuk. Samar-samar terdengar riuh percakapan di antara denting gelas beradu. Wajah-wajah asing namun familiar mulai mengisi ruang pikiranku.
“Tash?” seorang gadis menghampiriku setengah ragu.
“Diana?” aku malah balik bertanya.
“Lord, pangling aku melihatmu,” Diana menjabat tanganku, lalu setengah menyeretku ke sebuah meja berpenghunikan 2 kaum adam.
“Guess who are they?” Diana melirikku. Aku berusaha menggali serpihan-serpihan kenangan masa laluku yang belum terkubur oleh padatnya aktivitas kerja, sambil berjuang agar satu kotak terlarang di sudut ingatan itu tak tersentuh.
“Sorry,” aku menyerah ketika otakku akhirnya mengibarkan bendera putih.
“Tega lo, Tash. Gw Dhika, dan ini Adhit,” salah satu makhluk adam itu menanggapiku setengah cemberut. “Sudah ingat? Atau perlu keterangan tambahan?”
“Ah, aku sudah ingat kok,” aku tersenyum tipis, menarik kursi di hadapan mereka berdua, di samping Diana. “Sorry, short time memories.”
“Tasha nih, jangan-jangan sudah nggak ingat lagi cerita-cerita jaman kita kelas 3 SMP.” Aku hanya nyengir mendengar candaan Adhit.
Well, sejujurnya ada sejumput ingatan dari masa itu, terselubung dalam satu kotak yang terus dan terus berusaha kukubur namun tetap saja berhasil muncul ke permukaan.
“Tian!” Gemerincing bel dan seruan beberapa orang membuatku menoleh ke arah pintu café, hanya untuk menemukan satu sosok yang menjadi satu-satunya alasan aku enggan datang ke reunian ini.
Klik! Kotak mungil di sudut hati tanpa diingini perlahan terbuka, dan aku mulai mencacinya. Satu cerita tentang cinta tak terbalas, pengharapan akan pangeran es yang tak akan pernah terjawab.
Aku menghela nafas panjang, kembali memfokuskan pada cerita Dhika tentang kabar angin mengenai rencana pemindahan ibukota negara ke Samarinda.
“Guys, aku mau muterin sesuatu ya,” Andini, sang ‘ketua panitia’ acara reuni kali ini meminta pelayan café untuk mematikan lampu, dan melangkah ke atas panggung kecil tempat live music tampil lima menit yang lalu.
Proyektor mulai berputar, bercerita lengkap mengenai setahun masa SMP melalui lembar-lembar gambar abadi tak bergerak. Ulang tahun wali kelas, tes menyanyi untuk seni musik, bergaya di warung tepi jalan saat tes lari berlangsung. Aku terkesiap ketika lembar kenangan itu merekam gambaranku bersanding dengan Tian, di bangku kantin, satu saat ketika jam sekolah telah berakhir.
“Ah, aku ingat cerita ini. Kau tahu, Tash, kita sekelas sempat menyangka kalian berdua jadian lho. So, it shocked us when we heard Tian had had a girlfriend, our junior,” Diana berbisik.
“I told you that we were just friend,” aku melirik sang tokoh utama yang tampaknya juga tengah diganggu oleh yang lain.
Yeah, we were just friend. Itu mantra yang selalu aku ucap, hari demi hari, bahkan hingga detik di mana aku berdiri saat ini, menatap gambaran aslinya yang jauh lebih mempesona dibanding imaji mayaku.
We were just friend. Aku masih mengulang mantra itu saat dia menyadari keberadaanku dan beranjak menghampiri. Oh Lord, this is the part I hate the most, time when we finally meet each other.
Brak! Kotak kenangan yang kujaga tak tersentuh itu terbukalah sudah seiring senyumnya menyapa. Ribuan gambaran usang, beserta segenggam harap dan luka meruap ke permukaan, menciptakan kembali sebentuk haru.
“Hi, Tash. Long time no see,” Tian menyapa.
“Hi!” Sebuah sapaan kecil, dan sejuta rasa pun tumpah ruah, membuat tahunan perjuanganku mengubur semua asa itu hancur sia-sia. “Apa kabar?” Pada akhirnya hanya kata itu yang mampu terucap. Damn you, Tian! Setelah sekian lama kau masih juga menggenggam utuh hati yang kumiliki.
“Baik. Kau sendiri apa kabar? Kudengar kau sekarang bekerja di rumah sakit ya?”
“I’m fine also. Yup, thanks to Lord I can work at hospital. How about you?” tanyaku balik. Dan seberapa banyak kabar tentangku yang kau dengar, Tian? Sampaikah ke telingamu bahwa aku baru saja menolak pinangan rekan kerjaku? Tahukah kamu bahwa aku baru memutuskan untuk datang ke acara ini pada detik-detik terakhir, setelah membuat perjanjian dengan hatiku sendiri bahwa aku tak akan mencari sosokmu?
“Ah, aku hanya pegawai negeri kok, sebagai guru SD.”
Tapi itu memang cita-citamu dari dulu kan? Bekerja sebagai guru karena kamu ingin memperbaiki mutu pendidikan di negara kita yang menurutmu sudah sangat menyedihkan.
“Tian! Ke sini dong!” seseorang memanggilnya untuk kembali ke meja asal. “Well, glad can meet you again, Tash. Habis lulus SMP baru sekarang kita ketemu lagi ya,” Tian melambai dan berbalik.
Well, now or never, Tash.
“Tian!”
Pemuda itu berbalik, wajahnya mencerminkan pertanyaan.
“Hey, can I have your phone number?”
“Sure, why not. Honestly I wanna ask yours also, but..,” Tian mengangkat bahunya, “maybe someone will get angry if I ask that.”
“Your girlfriend?”
“Ahaha, I’m still single right now. I’m talking about your boyfriend.”
“Whose boyfriend are you talking about? Can’t you see I’m coming here just with myself?” aku tertawa lega mengetahui ‘status’ terbarunya dia. “So, nobody will shout me if I texted you, rite?” godaku.
“Nope. Don’t worry,” Tian menuliskan nomornya pada selembar tissue makan. “I’ll wait,” sambungnya sebelum setengah berlari kembali ke mejanya, meninggalkan diriku yang terdiam tak percaya. And again, you give me another hope, Tian, desahku.
Tapi untuk saat ini aku tak akan hanya berdiam, kali ini aku yang akan berlari mengejar sang kesempatan hingga satu titik ia menyerah dan mendengar pintaku.
Kuketik satu pesan dan kukirimkan pada satu nomor yang terdapat pada genggamanku :
Hi best bud, have much free time today? Wanna have some time just with you only, talking about our past. Guess it’ll be fun. Tash.
Dan semenit kemudian sebuah pesan singkat masuk.
Sure. Let’s go out after this reunion over. Tian.
And now, it’s my turn to capture your heart, Tian.
created : 12 sept 2010
No comments:
Post a Comment