Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday 21 December 2013

Lemonade Song - Chapter 3






“Chi, ayo dong, temenin aku gladi bersih buat acara besok,” Cakra menghadang begitu aku keluar dari kelas British Literature.
“Aku kan udah bilang aku nggak bisa ke Rendez-Vous hari ini, masih ada paper yang harus aku selesaikan,” aku mengelak.
“Alasan yang sama yang kamu kasih sejak 3 hari lalu,” kata Cakra.
“Emang paper bisa kelar dalam waktu 1 hari?!”
“Chi, ada apa sih? Kalau ada masalah bilang dong sama aku. Kamu tiba-tiba nggak mau datang ke Rendez-Vous sama sekali. Anak-anak nanyain kamu, Rhea nanyain kamu, even Gema juga nyariin.”
Aku langsung terdiam mendengar ucapan Cakra, mendengar satu nama terucap dari bibirnya. Gema. Cowok dengan kata-kata manis yang entah mengapa malah menghantui malamku. Memenjarakan pikiranku dengan pertanyaan siapa gadis beruntung yang membuatnya mampu ciptakan kata-kata indah itu. Siapa kelak gadis beruntung yang akan mampu miliki hatinya.
Aku menghela nafas panjang dan menggeleng pelan. You’re falling too fast, Cianti!
“Oke deh kalau kamu hari ini nggak bisa datang ke Rendez-Vous. Tapi kamu besok harus datang ya? Aku perform mulai jam 2 siang. Please, please, spare your time for just tomorrow,” Cakra menepuk kepalaku pelan, kemudian berlalu.
Dan aku berdiri sendiri, hanya dengan dilemma-ku.

* * * * *

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore saat kulangkahkan kaki memasuki Rendez-Vous. Sesiangan tadi aku bergulat dengan akal sehatku, yang memilih untuk mundur dan berlalu. Namun selalu, pada akhirnya hati yang menguasai.
Kuarahkan pandanganku pada bagian depan coffee shop tempat live music baru saja selesai. “Cianti!” Cakra berlari dari arah dapur. “Akhirnya datang juga,” sambungnya sambil merangkul bahuku dan mengarahkanku ke satu meja.
Sorry aku nggak bisa nonton perform-nya kamu,” kataku.
No big deal. Aku minta kamu datang bukan untuk itu kok. Walaupun kecewa juga sih, soalnya aku jadi nggak punya kesempatan buat ngebuktiin betapa kerennya aku,” Cakra mengibaskan tangannya sok acuh.
“Jadi buat apa?”
Just someone desperately want to give you a surprise. Just sit and wait,” Cakra menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil tersenyum lebar, kemudian menghilang lagi ke arah dapur.
“Dih, surprise apaan sih? Ulang tahunku kan masih lama?” gumamku pelan.
Tak lama Ethan – barista Rendez-Vous – meletakkan segelas hot chocolate dengan foam berbentuk hati terukir di atasnya, dan bersamanya hadir kartu berwarna hijau. Sebuah tulisan tangan yang kukenal tergores pada kartu tersebut. Tulisan tangan yang sama yang tergores pada berlembar-lembar kertas di atas meja Rendez-Vous beberapa hari lalu. Tulisan tangan milik Gema.

Bila kau ada waktu... Tinjaulah batinku... Gelisah dan bermimpi untukmu... Kerap mengusik kalbu... Setiap senyummu... Melambungkan asa tuk merindu...

Aku menatap ke arah dapur, hanya untuk menemukan sosok Gema berdiri canggung di depan pintunya. Sena mendorong pelan bahu Gema, membuat pemuda itu akhirnya melangkah ke arahku.
“Umm.. itu Katon Bagaskara,” katanya pelan setelah berhenti tepat di samping mejaku.
I know. I told you before, didn’t I, that I’m a huge fans of him,” kataku. “Apa maksudnya ini?”
“Seperti apa yang tertulis di situ. If you don’t mind.”
“Seorang pujangga seperti Gema mengutip kata-kata Katon Bagaskara? What’s wrong with your own words?” tanyaku sambil tersenyum. Aku tidak berniat untuk mencela Gema, hanya penasaran dengan pilihannya. Dan jawabannya berhasil langsung membuatku terdiam.
“Karena kamu membuat otakku mati rasa.”





Lemonade Song - Chapter 2






Hari ini aku kembali duduk di Rendez-Vous bertemankan segelas dingin lemonade squash. Thanks to Cakra yang satu jam lalu dengan suksesnya menarikku dari gedung kuliah untuk membantunya mendokumentasikan latihan sore ini.
Aku tengah memainkan camcorder di tangan ketika Gema duduk di sampingku. “Hei, mana Cakra?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu, “Entah, tadi menghilang sama Sena.”
“Dianggurin dong?” dia nyengir kecil.
“Iya. Sialan. Udah narik-narik aku dari gedung kuliah, terus dianya malah menghilang.”
Gema hanya tertawa sambil mengeluarkan gitar dari dalam kantong, dan mulai menyetel senarnya. Tak lama samar-samar terdengar petikan lagu yang familiar di telinga.
“Eh, kayaknya pernah denger deh lagunya,” kuangkat wajahku dari display camcorder.
“Apa coba?” tanyanya sambil tersenyum.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu,” kuperhatikan alunan nada yang terus mengalir dari jemari Gema, hingga masuk pada bagian reffrain. “Ah! Pasangan Jiwa-nya Katon Bagaskara ya?” kataku akhirnya.
“Wah, tahu juga sama karyanya Katon?” Gema menatapku heran.
Fans berat, hehe. Aku suka cara dia merangkai kata-kata indah, yang terkesan puitis tapi tetap sederhana. Musisi jaman sekarang nggak ada yang bisa berkarya seperti itu. Kalaupun masih ada, pasti langka banget,” aku menerangkan panjang lebar.
“Karena pasar musik jaman sekarang sudah sulit menerima kata-kata puitis,” Gema menanggapi.
“Otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis ya?” kataku sambil nyengir.
“Ahaha. Kesimpulannya sadis amat,” Gema tertawa geli, membuahkan kerutan heran di dahiku. “Heh? Kamu bisa ketawa juga ya?” tanyaku refleks.
“Sialan lo!” pemuda itu langsung cemberut, yang justru malah menciptakan cengiran di wajahku.
Satu lagu baru terdengar dari permainan gitar Gema. Nada yang asing sama sekali di telinga. Halus, mengalir, tapi entah mengapa terasa sendu. Dan berhasil membuatku terdiam sepanjang permainannya.
“Lagu siapa?” tanyaku pelan saat petikannya berakhir.
“Lagu iseng-iseng aja,” katanya.
“Heh? Seriously? Lagu kayak gini dibilang iseng, gimana seriusnya?” aku menatap Gema tak percaya, sementara pemuda itu hanya tersenyum dan dengan tenangnya meletakkan gitar di samping meja. “Liriknya udah ada?” tanyaku lagi.
“Masih coret-coret aja,” dia menanggapi. “Masih mencari lirik dan mood yang cocok dengan musiknya.”
Aku menatap pemuda di hadapanku dengan takjub. Gema bukan hanya jago merangkai kata, namun ia juga jenius dalam mencipta nada.
“Gema!” suara seseorang dari belakangku mengalihkan perhatian kami berdua. Tampak Sena tengah berjalan menghampiri sambil tersenyum usil. “Ciee... PDKT sama saudaranya si Cakra nih?” goda Sena.
“Ngarang,” Gema menanggapi singkat, sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah, yang entah mengapa membuatku sedikit kecewa.
“Duh, Gema, dingin banget sih lo. Kapan punya pacar kalau begini terus. Itu cewek-cewek pada ngantri nggak ada satupun yang bikin lo tertarik ya?” Sena menarik satu kursi di dekatku. “Gue sampai curiga jangan-jangan dia ini gay,” Sena berbisik padaku, namun dengan volume suara yang masih dapat terdengar oleh Gema.
“Sialan otak lo!” Gema menyodok dahi Sena dengan batang pensil.
“Gema kan pujangga cinta, pastinya banyak banget cewek-cewek yang melting habis baca kata-kata cintanya dia,” aku menanggapi, lagi-lagi terkejut dengan sepercik rasa kecewa yang terlahir di hati.
“Ahaha. Dia nggak ngebolehin siapa pun tahu keahliannya ngegombal kali, Chi,” kata Sena.
“Lho, memangnya kenapa? Itu kan keren banget,” aku protes.
“Kan kata kamu juga, otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis,” Gema nyengir.
“Terus, kemarin kenapa kamu ngebolehin aku ngeliat isi tulisan-tulisan kamu?”
“Nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa kalau otak kamu tuh otak jadul,” kata Gema sambil mengangkat bahu. Ekspresi wajahnya yang datar saat mengucapkan kalimat itu melahirkan sebuah cubitanku di lengan atasnya.
“Kamu tuh tulisan doang yang manis, kalau ngomong nggak manis sama sekali,” aku mencibir saat Gema protes kesakitan.
“Biarin,” Gema kembali fokus dengan kertas-kertasnya.
“Eh, Cakra ke mana? Bukannya tadi ngilang sama kamu?” kualihkan perhatianku pada Sena.
“Lagi nyiapin peralatan sama Diandra di loker karyawan.”
“Rhea mana? Nggak ikut nonton kamu latihan?”
“Diculik sama nyokapnya, nggak tahu deh mau ngapain. Mau dijodohin lagi kali, untuk yang kesekian kalinya.”
“Lha, nyokapnya emang nggak tahu kalau kalian pacaran?”
“Nggak. Kata Rhea justru bahaya kalau tahu, bisa-bisa besok gue disuruh ngapel malam mingguan, terus besoknya disuruh lamaran. Please deh, gue kan masih kuliah. Rhea juga baru mau meniti karir.”
“Nyokapnya se-drama itu ya?” aku menatap Sena takjub. Pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Ahaha, perjuanganmu tampaknya bakalan sulit, nak,” kutepuk bahu Sena sambil terkikik geli.
“Semoga meluruh seiring waktu, Chi,” kata Sena serius. Tiba-tiba terdengar Gema tertawa pelan. “Hujan badai nih nanti malam, denger lo mendadak ngomong puitis,” katanya.
“Dih, emang lo doang yang boleh puitis,” Sena menoleh ketika Cakra memanggilnya dari stage. “Yuk start latihan ah, biar nggak kemaleman selesainya,” Sena beranjak dari kursi. Sedetik kemudian Gema mengikuti, meninggalkan kertas-kertasnya begitu saja di atas meja.
Segores rasa penasaran membuatku bergeser untuk melirik hasil tulisan tangan Gema yang tak beraturan.

Rindu, aku ingin menggapainya... Menyentuh satu hati yang tengah dinanti... Mendengar satu lirik yang telah kuasai mimpi... Bahwa cinta ini tak lagi sendiri...
Satu doa yang selalu terucap pada langit... Ingin miliki dirinya dalam hari...

Dan saat aku selesai membaca tulisannya, saat itu juga aku menyesal. Damn, how could I fall to a guy’s sweet words. To his sweet words.


* * * * *



Lemonade Song - Chapter 1






Ini hari ketiga aku menemani Cakra latihan di Rendez-Vous untuk acara valentine day. Om-nya Sena – gitaris dan vokalis kedua band Cakra – jadi manajer coffee shop tersebut, dan Sena terobsesi ingin membuat suatu live music yang romantis di hari kasih sayang itu.
Valentine... Cih, aku pribadi bukan cewek romantis yang dengan mudahnya percaya cinta. kata-kata manis buat aku itu basi. Cowok yang lihai mengucapkan kata-kata manis langsung jadi kandidat pertama untuk dicoret dari daftar pujaan hati. Hmm, mungkin gara-gara itu kali ya aku nggak pernah pensiun dari status single.
“Cianti!” Cakra melambai dari satu meja saat aku memasuki Rendez-Vous. I love this cafe since the first time. Tempat yang nyaman untuk melarikan diri setelah seharian penat dengan mata kuliah atau ujian.
“Hey, Cha..,” aku menghampiri dan terhenti di depan meja. Seorang pemuda berkacamata tengah duduk di antara lembaran kertas penuh coretan.
“Oh iya, kamu belum pernah kenalan sama anggota band-ku selain Sena ya? Kenalin, ini Gema, bassis. Dan yang lagi ngobrol di deket stage itu Diandra, vokalis utama.”
Pemuda bernama Gema itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Dia hanya melambai kecil lalu kembali fokus pada lembaran kertas di hadapannya.
“Gema ini songwriter-nya kita lho, Chi. Dia kalo udah asyik dengan kertas-kertas dan gitarnya, nggak bakalan peduli sama sekitar. Mau kita teriak ampe gila juga, nggak bakalan ngaruh,” Cakra menepuk bahuku dan memberi sinyal untuk duduk di salah satu kursi di meja itu.
“Heh, kalo setiap kalian teriak kayak orang gila gue peduli, tulisan gue nggak akan pernah kelar tahu,” Gema melirik ke arah Cakra. “Udah gih, mendingan lo sound-check ma Diandra sana, daripada gangguin gue terus.”
“Iya, bawel. Mau minum apa, Chi?” tanya Cakra.
Aku menatap buku menu selama beberapa saat. Udara di luar tadi panas sekali, yang pasti aku perlu sesuatu yang dingin dan segar. Kulirik segelas cairan berwarna kuning cerah di atas meja. “Itu apa, Cha?”
“Itu minumannya Gema. Lemonade Squash.”
“Aku mau pesan itu aja deh, kayaknya segar,” kataku akhirnya.
“Oke deh. Gem, gue titip Cianti ya. Jangan diapa-apain lho.”
“Nggak bakalan. Kan kata lo juga kalian teriak-teriak aja gue nggak bakalan peduli.”
“Yaa... Siapa tahu beda kalau ada cewek cantik. Lo kan udah kelamaan jomblo, Gem,” Cakra langsung melesat kabur saat Gema berniat melempar gumpalan kertas-kertas ke arahnya.
“Dia emang kelakuannya kayak gitu ya?” tiba-tiba Gema menoleh ke arahku, yang hanya bisa kujawab dengan cengiran saja.
Pemuda itu kembali berkutat dengan kertas-kertasnya, sesekali memetik gitar yang berada di pangkuan. Dih, aku emang nggak cantik ya, Gema nggak menoleh sama sekali ke arahku, batinku bercanda.
“Gema! Si Sena udah datang nih! Sound-check bareng-bareng dulu yuk!” Cakra teriak dari arah stage.
“Hei, bisa titip kertas-kertasku sebentar?” Gema melirik ke arahku sambil bangkit dari kursinya. Aku mengangguk pelan dan meletakkan gelas lemonade squash, lalu berkata, “Eh, keberatan nggak kalau aku lihat-lihat kertas kamu?”
Gema hanya mengangkat bahu dan melambai, kemudian melangkah tergesa menuju stage.
Kucondongkan tubuhku ke arah meja, ke arah tumpukan kertas-kertas penuh coretan tangan Gema. Widih, cowok itu jago ulis not balok juga ternyata, sesuatu yang sempat aku kuasai waktu jaman SD dan SMP namun kemudian terlupa.
Beberapa kertas sudah terisi oleh barisan kata.

Hasrat tertatih ingin temukanmu, kekasih... Rindu bersemayam sandingi penantian... Lelah melangkah sendiri arungi segenap mimpi... Berharap kau ada di tepi pencarian...

Aku mendadak memandang sosok berkacamata yang tengah beradu mulut dengan Cakra. Seriously? Kalimat cinta ini keluar dari otaknya Gema?
Kubaca lembaran lainnya, menemukan deretan lain lirik lagu Gema, yang juga bercerita tentang rindu.

Hey, malam... Bolehkah aku sekejap terlena... Akan satu percik yang kusadar maya... Meski tersadar ingin jadikannya nyata...

Kuletakkan kertas-kertas itu di atas meja. Aku memang bukan tipe yang mudah terbuai oleh kata-kata manis, namun entah mengapa membaca tulisan Gema membuatku bertanya, siapa gerangan gadis beruntung yang suatu saat akan menerima limpahan kata-kata itu.


* * * * *