Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Saturday 21 December 2013

Lemonade Song - Chapter 3






“Chi, ayo dong, temenin aku gladi bersih buat acara besok,” Cakra menghadang begitu aku keluar dari kelas British Literature.
“Aku kan udah bilang aku nggak bisa ke Rendez-Vous hari ini, masih ada paper yang harus aku selesaikan,” aku mengelak.
“Alasan yang sama yang kamu kasih sejak 3 hari lalu,” kata Cakra.
“Emang paper bisa kelar dalam waktu 1 hari?!”
“Chi, ada apa sih? Kalau ada masalah bilang dong sama aku. Kamu tiba-tiba nggak mau datang ke Rendez-Vous sama sekali. Anak-anak nanyain kamu, Rhea nanyain kamu, even Gema juga nyariin.”
Aku langsung terdiam mendengar ucapan Cakra, mendengar satu nama terucap dari bibirnya. Gema. Cowok dengan kata-kata manis yang entah mengapa malah menghantui malamku. Memenjarakan pikiranku dengan pertanyaan siapa gadis beruntung yang membuatnya mampu ciptakan kata-kata indah itu. Siapa kelak gadis beruntung yang akan mampu miliki hatinya.
Aku menghela nafas panjang dan menggeleng pelan. You’re falling too fast, Cianti!
“Oke deh kalau kamu hari ini nggak bisa datang ke Rendez-Vous. Tapi kamu besok harus datang ya? Aku perform mulai jam 2 siang. Please, please, spare your time for just tomorrow,” Cakra menepuk kepalaku pelan, kemudian berlalu.
Dan aku berdiri sendiri, hanya dengan dilemma-ku.

* * * * *

Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore saat kulangkahkan kaki memasuki Rendez-Vous. Sesiangan tadi aku bergulat dengan akal sehatku, yang memilih untuk mundur dan berlalu. Namun selalu, pada akhirnya hati yang menguasai.
Kuarahkan pandanganku pada bagian depan coffee shop tempat live music baru saja selesai. “Cianti!” Cakra berlari dari arah dapur. “Akhirnya datang juga,” sambungnya sambil merangkul bahuku dan mengarahkanku ke satu meja.
Sorry aku nggak bisa nonton perform-nya kamu,” kataku.
No big deal. Aku minta kamu datang bukan untuk itu kok. Walaupun kecewa juga sih, soalnya aku jadi nggak punya kesempatan buat ngebuktiin betapa kerennya aku,” Cakra mengibaskan tangannya sok acuh.
“Jadi buat apa?”
Just someone desperately want to give you a surprise. Just sit and wait,” Cakra menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil tersenyum lebar, kemudian menghilang lagi ke arah dapur.
“Dih, surprise apaan sih? Ulang tahunku kan masih lama?” gumamku pelan.
Tak lama Ethan – barista Rendez-Vous – meletakkan segelas hot chocolate dengan foam berbentuk hati terukir di atasnya, dan bersamanya hadir kartu berwarna hijau. Sebuah tulisan tangan yang kukenal tergores pada kartu tersebut. Tulisan tangan yang sama yang tergores pada berlembar-lembar kertas di atas meja Rendez-Vous beberapa hari lalu. Tulisan tangan milik Gema.

Bila kau ada waktu... Tinjaulah batinku... Gelisah dan bermimpi untukmu... Kerap mengusik kalbu... Setiap senyummu... Melambungkan asa tuk merindu...

Aku menatap ke arah dapur, hanya untuk menemukan sosok Gema berdiri canggung di depan pintunya. Sena mendorong pelan bahu Gema, membuat pemuda itu akhirnya melangkah ke arahku.
“Umm.. itu Katon Bagaskara,” katanya pelan setelah berhenti tepat di samping mejaku.
I know. I told you before, didn’t I, that I’m a huge fans of him,” kataku. “Apa maksudnya ini?”
“Seperti apa yang tertulis di situ. If you don’t mind.”
“Seorang pujangga seperti Gema mengutip kata-kata Katon Bagaskara? What’s wrong with your own words?” tanyaku sambil tersenyum. Aku tidak berniat untuk mencela Gema, hanya penasaran dengan pilihannya. Dan jawabannya berhasil langsung membuatku terdiam.
“Karena kamu membuat otakku mati rasa.”





Lemonade Song - Chapter 2






Hari ini aku kembali duduk di Rendez-Vous bertemankan segelas dingin lemonade squash. Thanks to Cakra yang satu jam lalu dengan suksesnya menarikku dari gedung kuliah untuk membantunya mendokumentasikan latihan sore ini.
Aku tengah memainkan camcorder di tangan ketika Gema duduk di sampingku. “Hei, mana Cakra?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu, “Entah, tadi menghilang sama Sena.”
“Dianggurin dong?” dia nyengir kecil.
“Iya. Sialan. Udah narik-narik aku dari gedung kuliah, terus dianya malah menghilang.”
Gema hanya tertawa sambil mengeluarkan gitar dari dalam kantong, dan mulai menyetel senarnya. Tak lama samar-samar terdengar petikan lagu yang familiar di telinga.
“Eh, kayaknya pernah denger deh lagunya,” kuangkat wajahku dari display camcorder.
“Apa coba?” tanyanya sambil tersenyum.
“Sebentar, aku ingat-ingat dulu,” kuperhatikan alunan nada yang terus mengalir dari jemari Gema, hingga masuk pada bagian reffrain. “Ah! Pasangan Jiwa-nya Katon Bagaskara ya?” kataku akhirnya.
“Wah, tahu juga sama karyanya Katon?” Gema menatapku heran.
Fans berat, hehe. Aku suka cara dia merangkai kata-kata indah, yang terkesan puitis tapi tetap sederhana. Musisi jaman sekarang nggak ada yang bisa berkarya seperti itu. Kalaupun masih ada, pasti langka banget,” aku menerangkan panjang lebar.
“Karena pasar musik jaman sekarang sudah sulit menerima kata-kata puitis,” Gema menanggapi.
“Otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis ya?” kataku sambil nyengir.
“Ahaha. Kesimpulannya sadis amat,” Gema tertawa geli, membuahkan kerutan heran di dahiku. “Heh? Kamu bisa ketawa juga ya?” tanyaku refleks.
“Sialan lo!” pemuda itu langsung cemberut, yang justru malah menciptakan cengiran di wajahku.
Satu lagu baru terdengar dari permainan gitar Gema. Nada yang asing sama sekali di telinga. Halus, mengalir, tapi entah mengapa terasa sendu. Dan berhasil membuatku terdiam sepanjang permainannya.
“Lagu siapa?” tanyaku pelan saat petikannya berakhir.
“Lagu iseng-iseng aja,” katanya.
“Heh? Seriously? Lagu kayak gini dibilang iseng, gimana seriusnya?” aku menatap Gema tak percaya, sementara pemuda itu hanya tersenyum dan dengan tenangnya meletakkan gitar di samping meja. “Liriknya udah ada?” tanyaku lagi.
“Masih coret-coret aja,” dia menanggapi. “Masih mencari lirik dan mood yang cocok dengan musiknya.”
Aku menatap pemuda di hadapanku dengan takjub. Gema bukan hanya jago merangkai kata, namun ia juga jenius dalam mencipta nada.
“Gema!” suara seseorang dari belakangku mengalihkan perhatian kami berdua. Tampak Sena tengah berjalan menghampiri sambil tersenyum usil. “Ciee... PDKT sama saudaranya si Cakra nih?” goda Sena.
“Ngarang,” Gema menanggapi singkat, sambil mengeluarkan setumpuk kertas dari tasnya. Ekspresi wajahnya sama sekali tak berubah, yang entah mengapa membuatku sedikit kecewa.
“Duh, Gema, dingin banget sih lo. Kapan punya pacar kalau begini terus. Itu cewek-cewek pada ngantri nggak ada satupun yang bikin lo tertarik ya?” Sena menarik satu kursi di dekatku. “Gue sampai curiga jangan-jangan dia ini gay,” Sena berbisik padaku, namun dengan volume suara yang masih dapat terdengar oleh Gema.
“Sialan otak lo!” Gema menyodok dahi Sena dengan batang pensil.
“Gema kan pujangga cinta, pastinya banyak banget cewek-cewek yang melting habis baca kata-kata cintanya dia,” aku menanggapi, lagi-lagi terkejut dengan sepercik rasa kecewa yang terlahir di hati.
“Ahaha. Dia nggak ngebolehin siapa pun tahu keahliannya ngegombal kali, Chi,” kata Sena.
“Lho, memangnya kenapa? Itu kan keren banget,” aku protes.
“Kan kata kamu juga, otak anak muda sekarang susah mencerna kata-kata puitis,” Gema nyengir.
“Terus, kemarin kenapa kamu ngebolehin aku ngeliat isi tulisan-tulisan kamu?”
“Nggak tahu. Mungkin karena aku ngerasa kalau otak kamu tuh otak jadul,” kata Gema sambil mengangkat bahu. Ekspresi wajahnya yang datar saat mengucapkan kalimat itu melahirkan sebuah cubitanku di lengan atasnya.
“Kamu tuh tulisan doang yang manis, kalau ngomong nggak manis sama sekali,” aku mencibir saat Gema protes kesakitan.
“Biarin,” Gema kembali fokus dengan kertas-kertasnya.
“Eh, Cakra ke mana? Bukannya tadi ngilang sama kamu?” kualihkan perhatianku pada Sena.
“Lagi nyiapin peralatan sama Diandra di loker karyawan.”
“Rhea mana? Nggak ikut nonton kamu latihan?”
“Diculik sama nyokapnya, nggak tahu deh mau ngapain. Mau dijodohin lagi kali, untuk yang kesekian kalinya.”
“Lha, nyokapnya emang nggak tahu kalau kalian pacaran?”
“Nggak. Kata Rhea justru bahaya kalau tahu, bisa-bisa besok gue disuruh ngapel malam mingguan, terus besoknya disuruh lamaran. Please deh, gue kan masih kuliah. Rhea juga baru mau meniti karir.”
“Nyokapnya se-drama itu ya?” aku menatap Sena takjub. Pemuda itu hanya mengangguk pelan. “Ahaha, perjuanganmu tampaknya bakalan sulit, nak,” kutepuk bahu Sena sambil terkikik geli.
“Semoga meluruh seiring waktu, Chi,” kata Sena serius. Tiba-tiba terdengar Gema tertawa pelan. “Hujan badai nih nanti malam, denger lo mendadak ngomong puitis,” katanya.
“Dih, emang lo doang yang boleh puitis,” Sena menoleh ketika Cakra memanggilnya dari stage. “Yuk start latihan ah, biar nggak kemaleman selesainya,” Sena beranjak dari kursi. Sedetik kemudian Gema mengikuti, meninggalkan kertas-kertasnya begitu saja di atas meja.
Segores rasa penasaran membuatku bergeser untuk melirik hasil tulisan tangan Gema yang tak beraturan.

Rindu, aku ingin menggapainya... Menyentuh satu hati yang tengah dinanti... Mendengar satu lirik yang telah kuasai mimpi... Bahwa cinta ini tak lagi sendiri...
Satu doa yang selalu terucap pada langit... Ingin miliki dirinya dalam hari...

Dan saat aku selesai membaca tulisannya, saat itu juga aku menyesal. Damn, how could I fall to a guy’s sweet words. To his sweet words.


* * * * *



Lemonade Song - Chapter 1






Ini hari ketiga aku menemani Cakra latihan di Rendez-Vous untuk acara valentine day. Om-nya Sena – gitaris dan vokalis kedua band Cakra – jadi manajer coffee shop tersebut, dan Sena terobsesi ingin membuat suatu live music yang romantis di hari kasih sayang itu.
Valentine... Cih, aku pribadi bukan cewek romantis yang dengan mudahnya percaya cinta. kata-kata manis buat aku itu basi. Cowok yang lihai mengucapkan kata-kata manis langsung jadi kandidat pertama untuk dicoret dari daftar pujaan hati. Hmm, mungkin gara-gara itu kali ya aku nggak pernah pensiun dari status single.
“Cianti!” Cakra melambai dari satu meja saat aku memasuki Rendez-Vous. I love this cafe since the first time. Tempat yang nyaman untuk melarikan diri setelah seharian penat dengan mata kuliah atau ujian.
“Hey, Cha..,” aku menghampiri dan terhenti di depan meja. Seorang pemuda berkacamata tengah duduk di antara lembaran kertas penuh coretan.
“Oh iya, kamu belum pernah kenalan sama anggota band-ku selain Sena ya? Kenalin, ini Gema, bassis. Dan yang lagi ngobrol di deket stage itu Diandra, vokalis utama.”
Pemuda bernama Gema itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. Dia hanya melambai kecil lalu kembali fokus pada lembaran kertas di hadapannya.
“Gema ini songwriter-nya kita lho, Chi. Dia kalo udah asyik dengan kertas-kertas dan gitarnya, nggak bakalan peduli sama sekitar. Mau kita teriak ampe gila juga, nggak bakalan ngaruh,” Cakra menepuk bahuku dan memberi sinyal untuk duduk di salah satu kursi di meja itu.
“Heh, kalo setiap kalian teriak kayak orang gila gue peduli, tulisan gue nggak akan pernah kelar tahu,” Gema melirik ke arah Cakra. “Udah gih, mendingan lo sound-check ma Diandra sana, daripada gangguin gue terus.”
“Iya, bawel. Mau minum apa, Chi?” tanya Cakra.
Aku menatap buku menu selama beberapa saat. Udara di luar tadi panas sekali, yang pasti aku perlu sesuatu yang dingin dan segar. Kulirik segelas cairan berwarna kuning cerah di atas meja. “Itu apa, Cha?”
“Itu minumannya Gema. Lemonade Squash.”
“Aku mau pesan itu aja deh, kayaknya segar,” kataku akhirnya.
“Oke deh. Gem, gue titip Cianti ya. Jangan diapa-apain lho.”
“Nggak bakalan. Kan kata lo juga kalian teriak-teriak aja gue nggak bakalan peduli.”
“Yaa... Siapa tahu beda kalau ada cewek cantik. Lo kan udah kelamaan jomblo, Gem,” Cakra langsung melesat kabur saat Gema berniat melempar gumpalan kertas-kertas ke arahnya.
“Dia emang kelakuannya kayak gitu ya?” tiba-tiba Gema menoleh ke arahku, yang hanya bisa kujawab dengan cengiran saja.
Pemuda itu kembali berkutat dengan kertas-kertasnya, sesekali memetik gitar yang berada di pangkuan. Dih, aku emang nggak cantik ya, Gema nggak menoleh sama sekali ke arahku, batinku bercanda.
“Gema! Si Sena udah datang nih! Sound-check bareng-bareng dulu yuk!” Cakra teriak dari arah stage.
“Hei, bisa titip kertas-kertasku sebentar?” Gema melirik ke arahku sambil bangkit dari kursinya. Aku mengangguk pelan dan meletakkan gelas lemonade squash, lalu berkata, “Eh, keberatan nggak kalau aku lihat-lihat kertas kamu?”
Gema hanya mengangkat bahu dan melambai, kemudian melangkah tergesa menuju stage.
Kucondongkan tubuhku ke arah meja, ke arah tumpukan kertas-kertas penuh coretan tangan Gema. Widih, cowok itu jago ulis not balok juga ternyata, sesuatu yang sempat aku kuasai waktu jaman SD dan SMP namun kemudian terlupa.
Beberapa kertas sudah terisi oleh barisan kata.

Hasrat tertatih ingin temukanmu, kekasih... Rindu bersemayam sandingi penantian... Lelah melangkah sendiri arungi segenap mimpi... Berharap kau ada di tepi pencarian...

Aku mendadak memandang sosok berkacamata yang tengah beradu mulut dengan Cakra. Seriously? Kalimat cinta ini keluar dari otaknya Gema?
Kubaca lembaran lainnya, menemukan deretan lain lirik lagu Gema, yang juga bercerita tentang rindu.

Hey, malam... Bolehkah aku sekejap terlena... Akan satu percik yang kusadar maya... Meski tersadar ingin jadikannya nyata...

Kuletakkan kertas-kertas itu di atas meja. Aku memang bukan tipe yang mudah terbuai oleh kata-kata manis, namun entah mengapa membaca tulisan Gema membuatku bertanya, siapa gerangan gadis beruntung yang suatu saat akan menerima limpahan kata-kata itu.


* * * * *



Thursday 14 November 2013

(small) reunion



sweet Sunday
10th November 2013
Resty, April, Wulan, and I





ps. thanks to April for the pics.. :)


Friday 18 October 2013

5 Centimeters per Second



Hey, I heard it 5 centimeters per second. The speed at which a cherry blossom petal falls is 5 centimeters per second.
Akari

Beberapa waktu lalu aku nemuin anime ini di internet, dan iseng nonton karena ceritanya juga cukup singkat, cuma 3 episode aja. Tapi ternyata ceritanya dalem bangeett..

Jadi secara garis besar, film ini menceritakan hubungan persahabatan antara dua orang - Tohno Takaki dan Ahinohara Akari - yang kemudian harus dipisahkan jarak karena Akari harus pindah ke kota lain, dan hubungan persahabatan itu dilanjutkan dengan saling berkirim surat.

The last time we saw each other was at our elementary school graduation ceremony. Half a year has already passed since then. Hey, Takaki-kun, do you still remember me?
Akari

Suatu hari Takaki pun harus pindah ke lain kota - ke tempat yang lebih jauh lagi - yang membuat Takaki memutuskan untuk menghampiri Akari, meskipun harus berkali-kali berganti kereta.


Dan mereka pun kembali berpisah dengan perasaan yang tidak mampu mereka sampaikan, hanya janji untuk tetap saling berkirim surat.



Namun jarak dan waktu semakin memisahkan dua hati, membuatnya semakin tak beriring. Dan komunikasi pun akhirnya tak lagi tercipta.

“When did I get into the habit of typing text messages without an address to send them to?
Takaki

Beberapa tahun kemudian, Takaki pun kembali ke kota asal. Dan tanpa sengaja bersimpangan jalan dengan seseorang dari masa lalunya..

        "I strongly felt, that if I looked back now, she would look back as well.
Takaki


Dan satu lagu di akhir episode 3 dengan suksesnya bikin aku nangis. What a tragic love, I guess, saat waktu memaksa seseorang untuk terus melangkah maju sementara masa lalu masih terus berada di sudut ingatan dan menyelinap kembali di saat-saat terlemah kita..


I’m always searching
For your figure to appear somewhere
On the opposite platform, in the windows along the lane
Even though I know you couldn’t be at such a place
If my wish were to come true
I would be at your side right away
There would be nothing I couldn’t do
I would put everything on the risk and hold you tight, I'll show you
If I just wanted to distract my loneliness
Anybody would have been enough
The stars seems like it will fall in the night
Which is why I can't lie to myself
One more time
Oh seasons, don't disappear
One more time
The time when we were fooling around
I’m always searching
For your figure to appear somewhere
Even when I'm crossing a street, even in the midst of my dreams
Even though I know you couldn’t be at such a place
If a miracle were to happen
I would want to show you immediately
A new morning, who I’ll be from now on
And the words I never said called: "I Love You"
The memories of summer are revolving
The throbbing which suddenly disappeared
I’m always searching
For your figure to appear somewhere
At dawn on the streets, at Sakuragi-cho
Even though I know you couldn’t be at such a place
If my wish were to come true
I would be at your side right away
There would be nothing I couldn’t do
I would put everything on the risk and hold you tight, I'll show you
I’m always searching,
For the fragments of you to appear somewhere
At a traveler’s store, in the corner of newspaper
Even though I know you couldn’t be at such a place
If a miracle were to happen
I would want to show you immediately
A new morning, who I’ll be from now on
And the words I never said called: “I Love You”
I always end up looking
For your smile to appear somewhere
At the railroad crossing, waiting for the express to pass
Even though I know you couldn’t be at such a place
If our lives could be restarted,
No matter how many times it will be, I will go back to you
There’s nothing else that I want
Nothing else is more important than you…


[One More Time, One More Chance - translation lyrics version]




Friday 13 September 2013

puisi terindah





kapan lagi kutulis untukmu
tulisan-tulisan indahku yang dulu
pernah warnai dunia
puisi terindahku hanya untukmu
[Jikustik – Puisi]

  
pas ngedenger lagi lagu ini, jadi tersadar satu hal.. kangen.. kangen sama malam-malam panjang dimana aku menghabiskan waktu merangkai kata untuk ungkapkan rasa di hati.. kangen sama aliran ribuan kata-kata manis menunggu untuk tertulis.. dan terutama kangen sama satu rasa yang bisa menciptakan hal magis seperti itu.. I miss falling into that feeling, yang mampu keluarkan semua sisi kreatif aku ke permukaan.. puisi, cerpen, prosa singkat, apapun.. rasa yang bikin aku mampu menjelma menjadi Katon Bagaskara dalam semalam (well, tetep ga bisa sehebat dia sih ya, hehe..).. dan di satu titik, akhirnya bikin aku kangen sama seseorang.. seseorang yang berhasil ciptakan rasa itu.. seseorang yang berhasil bikin aku jadi pujangga yang memuja malam.. karena dari sang malamlah, lahir tulisan..

hey, I miss you..

  
aku yang pernah engkau kuatkan
aku yang pernah kau bangkitkan
aku yang pernah kau beri rasa




Wednesday 21 August 2013

dear venus








































...ngeliwet...




edisi lembur aku hari kedua, dan kerja siang.. agak males juga sih, secara yang lain masih libur lebaran, ini udah harus masuk kerja.. 

sampai loker ada wacana ternyata anak-anak mau pada ngeliwet.. hmm, ada untungnya juga ya kebagian jaga lembur siang, aku jadi punya waktu untuk ngumpul bareng anak-anak sambil ngobrol ngalor-ngidul.. abis kalo ga ada 'acara khusus' kayak gitu, agak susah juga.. apalagi kalo tugas lagi banyak, ga ada waktu buat diem dulu di loker, pas mau masuk atau abis istirahat..

acara ngeliwet jadinya diadain di kantin utama lt. 5.. tempatnya emang jauh lebih lega dibandingin di kantin Cephalosporin.. yah, berhubung aku pribadi ga tau bakal ada acara seperti itu, jadinya ga bawa apa-apa deh.. untung banget sebelum berangkat sempet kepikiran bawa permen sticky tea, jadi aku bawa aja ke kantin..

and it was fun! talking and laughing.. bagi-bagi makanan.. comment sana-sini, ledekin sana-sini.. 
dan pastinya foto-foto.. :)


































dan ternyata.. permen aku laris manis.. even anak-anak cowok yang aku kira ga suka permen manis, malah ngambil banyak.. ahaha..


permen yang semula penuh tinggal 1/4-nya


thank you, guys..
it was really fun.. :)



Sunday 18 August 2013

...friendship...



“Perhaps the most important thing we bring to another person is the silence in us, not the sort of silence that is filled with unspoken criticism or hard withdrawal. The sort of silence that is a place of refuge, of rest, of acceptance of someone as they are. We are all hungry for this other silence. It is hard to find. In its presence we can remember something beyond the moment, a strength on which to build a life. Silence is a place of great power and healing.” [Rachel Naomi Remen]






























Second Chance - Book







These are some quotes I've got from the book:





































































































































Saturday 17 August 2013

Can't Let Go - Landon Pigg







well you're the closest thing, I have
to bring up in a conversation 
about love that didn't last
but I could never call you mine 
cause I could never call myself yours
and if we were really meant to be
well then we've just defied destiny
it's not that our love died, it just never really bloomed

and then we saw our paths diverge
and I guess I felt okay about it
until you got with another man
and then I couldn't understand
why it bothered me so
no we didn't die, we just never had a chance to grow

I can't let go, no I can't let go of you
you're holding me back without even trying to
I can't let go, I can't move on from the past
without lifting a finger you're holding me back

and it might not make much sense
to you or any of my friends
but somehow still you affect the things I do
and you can't lose what you never had
I don't understand why I feel sad
every time I see you out with someone new

I can't let go, no I can't let go
no I can't let go of you

I can't let go, no I can't let go of you
you're holding me back without even trying to
I can't let go, I can't move on from the past
without lifting a finger you're holding me back




Peppermint Message - Epilog





Yoga melangkah memasuki locker karyawan untuk menemui Rion yang tengah membereskan barang-barangnya. Jam kerja overtime-nya sudah selesai setengah jam yang lalu, dan Yoga bersyukur masih menemukan pemuda itu di locker.
“Ri, ada sesuatu buatmu,” Yoga mengulurkan sebuah kertas quisioner pada Rion. “Heh, quisioner paper? Memangnya Rendez-Vous sedang menyebarkan ini ya? Kok aku baru tahu?” tanya Rion heran.
Nope, I just found one inside my monthly report book, and took one lil’ initiative, who had thought it would end up good,” Yoga melambai dan menghilang dari ruangan.
Rion melirik selintas kertas di tangannya, berisi nama seorang gadis – Clara Sandryatifa, program studi – Teknik Kimia, nomor handphone, alamat email, beberapa tanda silang dalam kolom sangat setuju-setuju-kurang setuju-tidak setuju-sangat tidak setuju. Namun sebuah tulisan di kolom kritik dan saran – di bagian paling bawah quisioner – menarik perhatian Rion. Kalimat singkat dengan tulisan tangan rapi.

               Mas Rion,
               Peppermint tea-nya beneran enak kok..
              Dan aku lebih suka peppermint tea buatanmu.. :)


Dan Rion segera menyimpan kertas quisioner itu ke dalam saku jaketnya, sambil tersenyum. He'll give her a call tonight, for sure..






Peppermint Message - Chapter 2





“Ethan, table 10, dua frozen choco-oreo, satu lemon squash, dan satu peppermint tea!” Catrina – salah satu waitress part time, berteriak di pintu dapur. Aku berlari ke arah pintu untuk mengintip isi coffee shop. Aha, itu gadis peppermint tea. Dan tiba-tiba aku tergoda untuk melakukan penelitian kecil.
“Ethan, aku yang meracik peppermint tea ya?” kataku.
“Oke. Nih, tangkap,” Ethan melempar kotak tea bags ke arahku dan menyibukkan dirinya dengan slush machine. “Tumben ni anak inisiatif duluan, biasanya kalau udah kepepet baru mau ngebantuin,” komentar Anton dari balik oven.
“Hey, aku udah dapat sertifikat lulus dari Ethan untuk meracik peppermint tea, jadi boleh dong langsung dipraktekkan,” aku menanggapi sambil nyengir.
Sepuluh menit kemudian Catrina masuk ke dapur untuk mengambil pesanan, sekaligus menyerahkan order makanan pada Anton. Aku berjingkat ke arah cashier, sehingga dapat mengamatinya lebih jelas.
“Hey, Ri, ngapain di sini?” tanya Yoga heran.
“Mau belajar bikin laporan dong, boleh nggak? Jadi kalau akhir bulan nanti aku bisa bantuin kamu juga,” aku memberi alasan, sementara pandangan mataku terus tertuju pada meja nomor 10.
“Ehm, mau belajar bikin laporan atau mau memperhatikan seseorang?” ucapan Yoga membuatku segera mengalihkan perhatian ke arahnya, yang balik menatapku sambil tersenyum. “Udah, nggak usah pake alasan basi segala. Kamu jagain kasir aja kalau gitu, biar aku yang bertugas di belakang bantuin Anton,” pemuda itu menepuk bahuku, senyumnya tak juga berhenti, malah semakin lebar. “Sekalian ngegosip,” sambungnya.
Aku melangkah menuju cash machine, sesekali melirik ke meja 10, melirik ke satu gadis yang selama seminggu ini reaksinya terus menghantui pikiranku. Aku bukannya tipe orang yang terlalu memperdulikan pendapat orang lain, but since Ethan himself said that my peppermint tea has a same taste with his, lalu kenapa gadis itu bereaksi berbeda?
Tubuhku menegang ketika melihat gadis itu menyeruput tehnya. Oh, God, please, tell me that I just overreacts over small thing, that I just misread her respond, that her respond had no connection with my tea, that...
Dan rangkaian doaku terhenti ketika gadis itu kembali mengerutkan keningnya. Ia menatap isi gelasnya, kemudian menyeruputnya sekali lagi, dan terdiam. Seorang temannya menoleh ke arahnya, mungkin menanyakan sikapnya yang tiba-tiba berubah, namun gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum manis, kemudian mereka berempat pun kembali tenggelam dalam sebuah percakapan.
Dan aku hanya mampu mencaci dalam hati. Mencaci rasa penasaranku, mencaci penelitian kecilku, dan mencaci rangkaian doaku yang tak terkabul.

* * * * *

“Hey, Rion, bisa overtime sore ini? Angga mendadak nggak bisa masuk kerja karena ada kelas tambahan,” Mr. Ardian – manajer Rendez-Vous – menghampiriku yang sedang serah terima tugas dengan Yoga. Hari ini Yoga memang bertugas di sore hari, sehingga sesiangan tadi aku yang berjaga di meja cashier.
Aku baru saja hendak menolak tawaran Mr. Ardian – mengingat setumpuk paper yang harus dikerjakan malam ini – ketika gadis peppermint tea itu melangkah masuk, sendirian. “Ah, aku bisa kok, Mr. Ardian. Tapi akhir tahun ini bonusku besar ya?” aku mengencangkan tali apron-ku yang sudah setengah terbuka, lalu tertawa ketika Mr. Ardian memukul bahuku pelan dengan organizer-nya.
Kulangkahkan kakiku ke dapur, dan lima menit kemudian Yoga datang membawa order yang sudah kutunggu – peppermint tea, bersama dengan chicken garden salad. “Kamu yang mau meracik pepermint tea-nya?” Ethan melangkah ke sampingku.
“Yap. Boleh kan?” tanyaku.
“Dengan senang hati. Sering-sering aja seperti itu, meringankan tugasku,” Ethan menanggapi sambil tertawa, membuahkan cibiran dariku. Tak lama Naia – waitress jaga sore itu – datang mengambil minumannya, sementara perlu waktu sepuluh menit lagi bagi Anton untuk menyelesaikan chicken garden salad.
Aku melipir ke arah pintu dapur, menanti reaksi dari gadis peppermint tea itu setelah menyeruput racikanku. Hmm, dia pasti akan mengerutkan keningnya lagi, dan menatap ke dalam gelasnya seolah-olah ada yang aneh di dalam sana, mencari sesuatu yang tidak seharusnya ada, mencari sesuatu yang tidak akan ada bila teh itu diracik oleh Ethan. Aku masih mencari-cari apa yang berbeda dari peppermint tea racikanku dan peppermint tea racikan Ethan, bahkan memperhatikan langsung ketika Ethan meraciknya, dan aku belum bisa menemukan dimana letak perbedaannya – sesuatu yang luput dari perhatianku namun langsung dia sadari kali pertama dia meneguk tehnya.
Gadis itu menutup buku bacaannya ketika Naia meletakkan peppermint tea. Dia menghirup aromanya sekejap sebelum mulai menyeruputnya, dan seperti yang kuduga, sebuah kerutan muncul di keningnya. Gadis itu menyeruputnya sekali lagi, lalu kembali meneruskan bacaannya sambil tersenyum.
Senyuman yang membuatku terkejut.
Senyuman yang membuatku ingin mengetahui artinya.
Senyuman yang segera membuatku mengambil alih baki berisi chicken garden salad dari tangan Yoga dan meluncur ke meja tempat gadis itu berada.
“Selamat sore, mbak. Chicken garden salad-nya,” aku menyapa sambil berusaha menenangkan detak jantungku sendiri.
“Ah, terima kasih, mas,” gadis itu menggeser peppermint tea-nya. Aku baru saja membalikkan tubuhku ketika gadis itu kembali bersuara, “Mas, yang ngeracik peppermint tea ada dua orang ya?”
Kuputar kembali tubuhku dan mendapati dia tengah tersenyum manis ke arahku. “Iya, kok mbak bisa tahu. Memang rasanya beda ya?”
“Yang ngeracik peppermint tea hari ini siapa?”
“Itu saya yang ngeracik, mbak. Saya baru dua minggu ini belajar ngeracik dari mas Ethan, jadi maaf kalau rasanya kurang. Bedanya di mana ya, mbak? Biar nanti saya perbaiki.”
“Aku nggak bisa bilang di mana bedanya sih, mas. Nggak kentara kok bedanya, tapi terasa aja. Mungkin karena aku udah terbiasa minum peppermint tea racikannya mas Ethan kali ya, jadi begitu minum racikan yang lain terasa bedanya. Tapi racikan yang ini juga enak kok, mas,” sebuah senyum kembali terlahir dari bibirnya.
“Oh ya? Terima kasih buat pendapatnya, mbak,” aku membalas senyumnya dan mengangguk pelan, kemudian melangkah kembali ke dapur sambil berusaha terlihat tenang. Baru ketika sampai di sudut dapur, aku bersandar di dindingnya dan merosot hingga terduduk, lalu menutup wajahku dengan kedua tangan.
“Ri, ada apa? Gadis itu memangnya tadi bilang apa?” Yoga segera berlari menghampiriku. “Hey, ada apa memangnya?” Anton melangkah menghampiriku dan Yoga. “Nggak tahu. Gadis di meja 10 itu tadi bilang sesuatu sama Rion, aku juga ingin tahu ada apa,” Yoga menepuk kepalaku.
“Dia bilang peppermint tea-ku enak. Dia langsung tahu itu bukan racikan Ethan karena sebelumnya dia terbiasa minum peppermint tea­-nya Ethan. Dia bisa ngebedain rasanya, meskipun dia nggak tahu di mana bedanya. Tapi dia bilang peppermint tea racikanku juga enak,” aku bergumam panjang-lebar, masih menyembunyikan wajahku dengan kedua tangan.
“Dih, aku kira ada apa. Rupanya si gila ini lagi jatuh cinta,” Yoga mendorong pelan kepalaku. “Sudah, bubar semuanya. Kembali lagi ke meja masing-masing,” Anton menimpali.
“Kalian ini, simpati sedikit kek sama temannya yang lagi galau,” protesku sambil melempari mereka satu persatu dengan gulungan kertas yang kutemukan di tempat sampah kering di dekatku. Seisi dapur hanya menanggapiku dengan tertawa.
Overtime sore itu kuhabiskan dengan membantu Ethan atau Anton di dapur, entah mengapa aku mendadak tak sanggup melangkahkan kakiku ke area coffee shop. Meskipun ingin melihat gadis itu lagi, melihat reaksinya lagi saat menyeruput peppermint tea racikanku, namun rasanya kejutan hari ini sudah lebih dari cukup atau aku khawatir jantungku akan berhenti berdetak.


* * * * *