Have you ever searched for words to get you in their heart.. But you don’t know what to say..
And you don’t know where to start.. Have you ever closed your eyes and dreamed that they were there..
And all you can do is wait for that day when they will care..

Tuesday 13 September 2011

..110911..



duhai rembulan bekuku yang membiru
kau tahu berapa lama sudah kubisikkan lagu kalbu
berharap meskipun hanya satu kali
kau bersedia sampaikannya pada sebuah hati

duhai langit kelamku yang sendu
mengapa tak pernah lagi ada kilau di malammu
ke mana perginya satu sinar mungil di sudutmu
yang selama ini menjadi kompas hatiku
tempat dimana kulabuhkan semua rindu

duhai dewi waktu yang selalu melompat
berkenankah kau untuk sesaat membeku
agar aku dapat menatap raganya
atau sekedar bisikkan rindu
tanpa orang lain tahu

duhai hati yang mulai merapuh
kembali kau buatku terjatuh
ciptakan tangis di penghujung malam
namun karenamu pula kukenal bahagia

duhai cinta
apakah kali ini kau sapa hatinya jua?




Monday 5 September 2011

Serpihan Rasa






Kupandangi gapura berwarna merah yang sudah mulai termakan usia itu. Kompleks Taman Angkasa, begitu tulisan yang dibentuk oleh deret-deret huruf dari stainless mengkilat. Lima tahun kiranya aku sudah meninggalkan tempat ini, mengejar mimpi remaja sambil menggenggam sepercik harap. Harap yang belakangan ini baru kutahu takkan pernah terwujud, bagaimana pun aku berusaha.
Kuhela nafasku, tersadar selama beberapa saat memandangi gapura itu ternyata aku menghambat kerja paruku sendiri. well, you’re finally here, Rio. Kenapa nggak masuk saja dan melihat seberapa jauh kenyataan berubah?
Kulangkahkan kaki menapaki batu beton yang tersusun rapi. Jejak langkah semakin membawaku hanyut dalam kenangan. Ah, taman bermain itu. saat untuk pertama kalinya aku bertemu sosok perempuan mungil bergaya preman. Tak peduli rambutnya yang panjang terurai, tak mempermasalahkan baju terusan pink yang dipakaikan ibunya, perempuan mungil itu dengan sigap melompat memanjat pohon mencoba meraih benang layangan putus yang tersangkut.
Lalu, Pochi. Apa kabar anjing besar peliharaan bapak ketua RT itu sekarang? Berkat ‘jasa’ dia yang berhasil keluar dari pagar dan menyalak galak pada gadis kecil di atas pohon itu, aku jadi bisa berkenalan dengannya. Well, setelah sebelumnya aku melempari Pochi dengan sepatuku dan harus pasrah karena anjing besar itu pergi dengan menggondol sebelah sepatu kesayanganku itu.
“Hey, sudah nggak apa-apa, kamu bisa turun sekarang!” teriakku pada sosok yang masih erat memeluk batang pohon.
“Dia beneran sudah pergi kan?” tanyanya cemas. Aku hanya mengangguk, sambil memperhatikannya menuruni pohon perlahan.
“Makasih, sudah mengusirnya dari sini,” katanya sambil tersenyum manis ketika kedua kaki mungilnya sudah menapak tanah. “Anjingnya besar sekali. Kamu hebat berani menghadapi anjing sebesar itu.”
Aku hanya tersenyum sombong mendengar pujiannya, padahal kalau mau jujur, lututku masih gemetar, membayangkan bagaimana kalau Pochi bukannya pergi karena gertakan sambalku tapi malah berbalik menyerangku. Ah, tapi dasar bocah ingusan, aku malah membusungkan dada sambil bilang, “itu sih masalah kecil buat aku.”, dan mendadak terbang ke langit ketujuh saat dia menatapku kagum.

Kupejamkan mata saat samar-samar kudengar nyanyian adzan ashar. Adzan yang dulu seringkali aku kumandangkan di kelas TPA hanya untuk menarik perhatian sepasang mata yang malah sibuk bercanda dengan teman-temannya.
Ah, kenangan. Aku tersenyum kecil dan meneruskan langkahku, melintasi satu demi satu bangunan yang beranjak melepaskan kembali kepingan masa lalu, lalu merangkainya menjadi lukisan manis yang kini beranjak sendu.

Langkahku berhenti di depan sebuah sekolah dasar, dan ribuan kenangan kembali mengisi memoriku, ciptakan lebih banyak lagi hampa di kedalaman hatiku. Kelas 4 SD ketika aku nyaris melabrak murid baru pindahan dari Jakarta karena dia merebut posisi juara kelas yang selalu kau pegang selama 3 tahun sebelumnya. Atau Hakim, sang ketua kelas di kelas 5 yang lalu menunjukmu untuk menjadi wakilnya, dan membuat kalian sering menghabiskan waktu hanya berdua setelah pulang sekolah.
Dan ketika malam kelulusan, aku hanya bisa menatap takjub dirimu yang bermetamorfosis dengan sangat sempurna dari sang sahabat yang tomboy menjadi gadis anggun yang tak tersentuh. Aku ingat setelahnya kau marah besar padaku karena tak sekalipun menyapamu di pesta itu. Ah, andai kau tahu bagaimana jantung ini selalu tersentak hebat ketika siluetmu melintas. Aku hanya khawatir ia akan berhenti berdetak jika kusapa dirimu. Tapi tentu saja bukan itu jawaban yang kuutarakan. Aku belum mampu mengambil resiko untuk kehilangan ikatan persahabatan itu.
Lalu kita masuk ke SMP yang sama, atas dasar janji yang tercipta saat pengumuman kelulusan SD. Dan aku hanya bisa menjadi saksi bisu bagaimana sesosok ulat nakal dalam sekejap berubah menjadi kupu-kupu nan jelita. Kembang sekolah, begitu para pemuda yang baru mengenal cinta itu memanggilmu. Well, aku cukup bangga masih layak bersanding denganmu meski hanya dengan status sahabat dan lirikan galak pemuda lain. Tapi di sisi lain hati, aku mulai merapuh, mulai menghitung hari demi hari di mana aku akan kehilanganmu. Merelakan saat dirimu menyambut uluran tangan cinta lain, tanpa pernah menyadari bahwa di sampingmu selalu ada cinta, yang dari dulu tak pernah berubah, hanya semakin membesar.
Dan tak lama kau pun mulai mengenal cinta pertama, menjatuhkan pilihan pada sang kakak kelas ketua klub tenis yang kau ikuti. Aku hanya bisa mencoba memberikan senyuman termanisku saat mendengar ceritamu, meski separuh hati ini meradang. Lalu kau pun mulai bertanya siapa kiranya pelabuhan hatiku, karena aku tak pernah membahasnya. Dan aku hanya mampu menggelengkan kepala, beralasan belum menemukan. Hmm, bagaimana jadinya kalau saat itu kukatakan bahwa gadis manis yang duduk di hadapankulah yang sejak awal telah berhasil menggenggam satu-satunya hati yang kumiliki.
Kupandangi telapak tangan kiriku. Tangan ini dulu pernah memelukmu, menepuk lembut punggungmu kala kau terisak patah hati. Sang cinta pertama itu ternyata sudah tertambat pada gadis di sekolah lain. Dan ketika kau terisak, separuh hatiku tergores perih karenanya, namun separuhnya lagi bersuka cita karena tak perlu khawatir akan kehilanganmu. Ah, layakkah diri ini disebut sahabat, kala aku justru menari di atas air matamu.

Aku menghela nafas panjang dan menggeleng lemah, berusaha memaksa diri untuk kembali ke kenyataan. Cerita itu sudah lama berlalu, namun entah mengapa masih terukir jelas di ingatan, sebesar apapun aku mencacinya.
Kupalingkan wajahku dari gedung sekolah dasar itu dan kembali menyusuri jalanan beton menuju satu cafe mungil di sudut jalan. Inilah tempat dimana kami sering menghabiskan masa SMA bersama-sama, kala pilihan sekolah mulai berbeda dan dia telah menemukan tambatan hati yang lain. Saat itu aku pun akhirnya mencoba untuk berpaling, mengubur ribuan harap tentangnya dan menerima satu pernyataan gadis lain.
Di cafe kecil ini, kita biasa lewatkan sore hari – hanya berdua – berbagi cerita tentang sekolah dan cinta, tentang mimpi dan masa depan. Kala itu mimpiku ingin menjadi dokter spesialis jantung, dan kau bergurau dengan mengatakan akan mengambil jurusan kebidanan agar kita bisa selalu bersama. Nyaris saja perasaan ini terlontar dari bibir, namun lagi dan lagi aku membeku, memilih untuk mempertahankan persahabatan ini. Persahabatan yang rapuh, karena telah kuletakkan cinta rahasia di atasnya.
Di cafe ini pula salam terakhir kusampaikan untukmu, ketika pengumuman universitas memaksaku untuk beranjak ke lain kota. Gambaranmu yang tersenyum manis dengan sebutir air mata mengalir di pipi terpatri jelas hingga kini. Namun kembali, aku dengan ego dan ketakutanku, hanya bisa memelukmu singkat dan ucapkan selamat tinggal. Meski seribu pinta ingin kulantunkan untukmu : dewiku, bidadariku, pemilik utuh hatiku.

Kurasakan air mata mulai menggantung selama aku menatap cafe mungil dengan untaian kenangannya. Segumpal penyesalan kembali menyesakkan dada, dengan ribuan kata andai. Namun waktu terus melangkah maju, seberapa pun kau berlutut memohonnya, dan masa lalu pun hanya akan menjadi kenangan.
Kuarahkan langkahku menuju lahan luas di area belakang kompleks, dan seketika itu jua air mata mendesak untuk keluar. Aku bersandar di pintu gerbangnya, menatap deretan nisan dingin di depanku. Ya, di salah satu nisan itu terukir namamu, walaupun aku belum tahu di sudut sebelah mana jasad dari jiwa yang kusayangi itu tertidur.
Dengan langkah tertatih kumasuki area itu, mencari dan terus mencari hingga kutemukan satu tempat dimana mawar putih menghiasi dengan indahnya. Ah, itu bunga kesukaanmu. Aku ingat kau pernah setengah merengek memintaku membawakan mawar putih untukmu saat kelulusan SMA, dan setangkai mawar putih pula yang kau berikan saat hari perpisahan kita.
“Catrina..,” aku duduk bersimpuh, terisak. “Kenapa nggak pernah bilang sama aku kalau penyakit jantungmu kambuh lagi? Kenapa orang tuamu nggak pernah bilang sama aku saat kamu mulai dirawat di ICCU? Kau kan tahu kalau keluargaku ikut pindah ke Bandung setahun setelah aku masuk kuliah, setelah itu kenapa nggak ada kabar sama sekali dari kamu?!”
“Cat, hari ini aku datang mau ngasih lihat ijazah dokter aku. Kau tahu kenapa aku ingin menjadi dokter spesialis jantung? Aku ingin menjadi dokter pribadi kamu. Rencanaku sehabis lulus kedokteran umum ini, aku ingin mengajukan posisi itu, Cat. Aku ingin menjadi dokter pribadi kamu selamanya. Perlu waktu tambahan lima tahun bagi aku untuk akhirnya memberanikan diri melangkah keluar dari persahabatan kita, tapi ternyata bagi Tuhan itu sudah terlambat. Sangat terlambat.”
“Catrina, aku sayang kamu...”


* * * * *

Dua bulan yang lalu, sebuah berita duka ditujukan untuk Rio. Beserta selembar surat singkat dengan tulisan tangan yang sudah sangat dikenalnya.


Dear Rio,

Apa kabar? Maaf aku tak pernah memberimu kabar, aku tak ingin mengganggu kuliahmu. Hanya saja aku merasa kali ini aku harus mengabarimu sesuatu, atau kau akan marah besar padaku. Minggu depan aku akan operasi jantung, lubang di jantungku mulai membesar – mungkin akibat terlalu lelah dengan jadwal kuliah. Dokter bilang kemungkinan berhasilnya 90%, tapi tetap saja aku ketakutan. Bagaimana kalau aku termasuk 10% yang tidak berhasil?
Hey, kau tahu apa arti bunga mawar putih? Mawar putih artinya ketulusan cinta, bisa juga berarti cinta sejati. Itulah sebabnya kuberikan mawar putih pada saat melepas kepergianmu. Semoga kau bisa menyimpulkan apa artinya.
Tetap semangat meraih mimpimu. Ketika kau kembali nanti, aku berharap kau bersedia menjadi dokterku.


Salam sayang,
Catrina



..030911..



ah, ada gulana mengambang kala lalui kelamku
tersadar pilu tak mampu terkubur
sebentuk rindu terus larutkan kalbu
berharap dan berharap ia mampu terlantun

ah, ada harap yang ingin kubunuh
kala segumpal resah mulai rajai waktu
ini hasrat yang salah, aku tahu
namun bagaimana bila ia tak sanggup terhapus

dan bersama malam berselimutkan ragu
bahwa uluran tangan ini tak mungkin bersambut

ah, aku patah hati lagi
bahkan sebelum aku mengakui
jauh sebelum aku mampu melangkah pergi
seiring kembali kubentengi hati

duhai sang cinta
lagi-lagi kita tak sejalan


L.e.b.a.r.a.n....




30 Agustus 2011

berhubung lebaran ternyata diundur sehari, dan punya Uncle yang hobinya jalan dan jalan, akhirnya diputuskan buat main ke Pangandaran & Batu Hiu – well, ga ada kerjaan juga sih ya, secara mundurnya lebaran bikin rencana jadi berantakan semua.. :P


Sebelum berangkat




On the bus
u~gh, yang motoin aku ga expert, hasilnya goyang.. :P





Pangandaran!!!




Menemukan beberapa pesan galau di pantai.. :D





Berbecak ria.. :)





Batu Hiu’s gate




Pemandangan di Batu Hiu






dari dulu pengen banget foto plang ini.. akhirnya terwujud juga.. :D






31 Agustus 2011

akhirnya... jadi juga lebaran.. kirain diundurnya sampai tahun depan.. (ahaha, ga mungkin juga sih ya..).. biarpun ga pake baju baru, ga pake sepatu baru, alhamdulillah masih bisa melewatkannya bareng dengan keluarga, terutama dengan nenek tersayang..
lebaran kalo di kampung tuh suasananya beda banget, dengerin pukulan bedug dan takbir aja rasanya ada yang beda.. dan berhubung nenek tuh orang paling sepuh di situ, sampai siang tetangga-tetangga terus berdatangan lah untuk sungkem.. capek juga berdiri-duduk-berdiri-duduk mulu.. hehe..










Saturday 3 September 2011

Quotes - Pamela Redmond Satran




a woman should have ....
enough money within her control to move out and rent a place of her own even if she never wants
to or needs to...

a woman should have ....
something perfect to wear if the employer or date of her dreams wants to see her in an hour...


a woman should have ...
a youth she's content to leave behind....


a woman should have ....
a past juicy enough that she's looking forward to
retelling it in her old age....

a woman should have .....
a set of screwdrivers, a cordless drill, and a black lace bra...


a woman should have ....
one friend who always makes her laugh... and one who lets her cry...


a woman should have ....
a good piece of furniture not previously owned by anyone else in her family...


a woman should have ....
eight matching plates, wine glasses with stems, and a recipe for a meal that will make her guests feel honored...

a woman should have ....
a feeling of control over her destiny...


every woman should know...
how to fall in love without losing herself..


every woman should know...
how to quit a job, break up with a lover, and confront a friend without ruining the friendship...


every woman should know...
when to try harder... and when to walk away...


every woman should know...
that she can't change the length of her calves, the width of her hips, or the nature of her parents..

every woman should know...
that her childhood may not have been perfect...but it's over...

every woman should know...
what she would and wouldn't do for love or more...


every woman should know...
how to live alone... even if she doesn't like it...


every woman should know...
whom she can trust, whom she can't, and why she shouldn't take it personally...

every woman should know...
where to go...
be it to her best friend's kitchen table... or a charming inn in the woods...
when her soul needs soothing...


every woman should know...
what she can and can't accomplish in a day...
a month...
and a year...